Langsung ke konten utama

義勇 公 YI YONG GONG, TIGA KESATRIA/PAHLAWAN PEMBERANI DARI LASEM

 


陳黃 二 先生 CHEN HUANG ER XIAN SHENG (Hokkien : TAN OEI JI SIAN SHENG), DUA TUAN CHEN (TAN) DAN HUANG (OEI)
 
義勇 公 YI YONG GONG (Hokkien : GI YONG KONG), TUAN-TUAN (ADIPATI) PAHLAWAN PEMBRANI
 
CHEN HUANG ER XIAN SHENG (Hokkien : Tan Oei Ji Sian Seng) atau YI YONG GONG (Hokkien : Gi Yong Kong) adalah dua orang pejuang yang dipuja di Juwana, Rembang, dan Lasem. Bersama dengan Raden Panji Margono, ketiganya menjadi pemimpin pemberontakan melawan VOC pada tahun 1741-1742 dan 1750 yang dikenal sebagai Perang Kuning. Penduduk Tionghoa di Lasem menghormati keduanya sebagai pahlawan dan membangun Klenteng 義勇 廟 YI YONG MIAO atau 義勇 公 廟 YI YONG GONG MIAO (Hokkien : Gie Yong Bio atau Gie Yong Kong Bio) pada tahun 1780 sebagai monumen pengingat keberanian mereka.
 
Gelar Chen Huang Er Xian Sheng memiliki arti "Dua Tuan Terhormat dari Keluarga Chen dan Huang".
Chen dan Huang merupakan marga, Er memiliki arti dua,
Xian Sheng memiliki arti tuan.
Dalam logat Hokkien gelar itu disebut Tan Oei Ji Sian Seng. Keduanya memilik nama asli Tan Kee Wie dan Oei Ing kiat. 
 
Tan Kee Wie dikenal sebagai juragan bata yang dermawan. Selain sebagai pengusaha, ia juga dikenal sebagai pendekar atau guru kungfu.
Oei Ing Kiat (Oey Ing Kiat) adalah seorang Tionghoa beragama Islam yang sangat kaya, keturunan Bi Nang Oen yang merupakan salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen adalah seorang pujangga dari Campa yang menjadi penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad ke-15.
Oei Ing Kiat sendiri merupakan pengusaha dan syahbandar yang memiliki banyak kapal junk dan perahu antar pulau.
Bersama dengan Raden Panji Margono, ketiganya saling mengangkat sumpah persaudaraan. Dalam "Kitab Carita Sajarah Lasem" karangan R. Panji Kamzah, setelah mengetahui kematian Panji Margono, Oei Ing Kiat menjadi marah dan berteriak, "Aku ingin mati menyusul saudaraku Den Panji dan saudaraku Tan Kee Wie".
 
Babad Tanah Jawi menyebut kedua pemimpin pemberontak Lasem bernama Encik Macan dan Muda Tik, yaitu Tan Pan Ciang (bukan Khe Pan Jiang) dan Oei Ing Kiat. Nama Tan Kee Wie tidak disebutkan, sementara Tan Pan Ciang merupakan nama samaran Raden Panji Margono yang menyamar sebagai seorang babah (keturunan campuran Tionghoa-Jawa). Babad Tanah Jawi mencatat keduanya sebagai pengusaha genting (genteng) dari Desa Klotok.
 
Oei Ing Kiat menjabat sebagai bupati di Lasem (1727-1743?) menggantikan ayah Raden Panji Margono, yaitu Tejakusuma V (1714-1727). Sebagai Bupati Lasem, ia diberi gelar Tumenggung Widyaningrat oleh Pakubuwana II. Tejakusuma V memiliki sikap anti-VOC sehingga ia tidak menyukai kedekatan Susuhunan Pakubuwana II dengan pihak Belanda. Sementara itu, Panji Margono sendiri lebih menyukai kehidupan sebagai pedagang.
 
Pada saat terjadi Geger Pacinan pada Tahun 1740, banyak warga Tinghoa dari Batavia yang mengungsi ke berbagai daerah pesisir yang relatif lebih aman, salah satunya adalah Lasem. Mengetahui peristiwa tersebut, Oei Ing Kiat dan penduduk Lasem baik pribumi maupun Tionghoa menjadi semakin benci terhadap Kompeni Belanda. Ia mengizinkan para pengungsi untuk membangun perkampungan-perkampungan baru di tepi Sungai Kemandung Karangturi, Pereng, dan Soditan. Sebagai dampaknya, warga Lasem berniat melakukan pemberontakan terhadap Belanda dan mengangkat tiga pemimpin pemberontakan, yaitu Raden Panji Margono, Raden Ngabehi Widyaningrat (Oei Ing Kiat), dan Tan Kee Wie. Raden Panji Margono menyamar sebagai seorang babah (keturunan Jawa-Tionghoa) bernama Tan Pan Ciang.
 
Ketiga bersaudara memimpin para pejuang Jawa-Tionghoa untuk menyerang kompi-kompi pasukan Belanda di Rembang pada tahun 1741. Kerjasama laskar Tionghoa dengan pribumi berhasil menghancurkan tangsi Kompeni di Rembang pada tanggal 21 Juli 1741. Setelah berhasil menguasai Rembang, pada November 1742 mereka menggunakan kapal-kapal model jung untuk melancarkan serangan ke markas VOC di Juwana dan Jepara. Namun, pasukan Belanda memperoleh bantuan tentara dan persenjataan dari Semarang sehingga pasukan ketiganya terdesak hingga Tanjung Mandalika (Welahan). Pada pertempuran itu, kapal Tan Kee Wie terkena serangan meriam dari kapal-kapal VOC saat berada di selat antara Pulau Mandalika dan Ujungwatu pada 5 November 1742. Sisa pasukan Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Panji Margono dan Oei Ing Kiat menjadi kacau-balau dan mundur ke Lasem.
 
Raden Panji Margono dan pengawalnya, Galiyo, yang pada saat itu mengenakan pakaian khas Tionghoa, mengganti pakaian mereka dengan pakaian Jawa di Desa Raci agar dapat dengan selamat kembali ke Lasem. Selain itu, mereka membeli berbagai pekakas dapur bekas dan menyamar sebagai tukang loak barang tembaga. Oei Ing Kiat melepas pakaian hitamnya dan menyamar menjadi orang Jawa. Sesampainya di Kartasura, ia melapor ke Sunan Pakubuwono II bahwa ia lari dari Lasem karena hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. Meskipun demikian, Oei Ing Kiat dicurigai terlibat dalam pemberontakan sehingga Pakubuwono II mencabut kedudukannya sebagai Adipati Lasem dan menggantinya dengan jabatan buatan VOC, yaitu Tumenggung Mayor Tituler yang hanya memiliki wewenang untuk mengatur orang Tionghoa Lasem. Untuk menghormati kepahlawanan Tan Kee Wie dan pasukan yang gugur, sebuah prasasti batu granit berukir ditempatkan pada batas tembok Tan Kee Wie di Batok Mimi, di tepi muara Sungai Paturen yang membelah Lasem.
 
Perang Kuning
 
Pada tahun 1750, Raden Panji Margono kembali merencanakan pemberontakan terhadap VOC. Pemberontakan tersebut didukung oleh laskar Tionghoa yang dipimpin Oei Ing Kiat dan laskar santri yang dipimpin Kyai Ali Badawi.
 
Pertempuran meletus pada bulan Agustus 1750. Pasukan dari Tuban yang dipimpin Tumenggung Citrasoma bertempur dengan pasukan pemberontak Argosoka yang dipimpin oleh Raden Panji Suryakusuma di Bonang dan Leran. Pasukan VOC dari Jepara yang melewati jalur laut menuju Layur (utara Lasem) dihadang pasukan Lasem dibawah pimpinan Oei Ing Kiat yang dipersenjatai senapan dan meriam hasil rampasan perang. Di sebelah timur Sungai Paturenan, pasukan Kyai Ali Badawi menghadang pasukan VOC dan Citrasoma. Raden Panji Margono memimpin pertempuran jarak dekat melawan pasukan Belanda di daerah Narukan dan Karangpace (barat Lasem) hingga ke utara di tepi laut. Di tempat ini, Raden Panji Margono gugur terkena sabetan pedang.
 
Setelah mendengar berita kematian Panji Margono, Oei Ing Kiat menjadi gelap mata. Sambil membawa pedang pusaka Naga Gak Sow Bun, ia nekad maju ke depan medan perang tanpa mempedulikan desing peluru dan ledakan meriam sambil membantai banyak serdadu VOC. Namun, amarahnya yang tak terkendali membuatnya tidak waspada sehingga dadanya tertembak oleh serdadu bayaran dari Ambon. Oei Ing Kiat mendekap dadanya yang terluka sambil mundur dari medan perang, kemudian ambruk dan meninggalkan pesan kepada orang-orang disekelilingnya:
1. Supaya jenasahnya dimakamkan di lereng puncak gunung Bugel menghadap ke barat dengan ditandai dayung perahu serta pohon beringin.
2. Hanya keluarganya yang diperbolehkan untuk mengetahui makamnya.
3. Jenasahnya dibawa ke Warugunung, di rumah istri mudanya yang beretnis Jawa, untuk dibersihkan dan dimakamkan.
 
Setelah kematian Oei Ing Kiat, perlawanan di Lasem benar-benar padam. Lasem kembali dikuasai oleh Belanda, rumah Oei Ing Kiat digunakan oleh keponakannya yang diangkat menjadi Kapten Tituler Lasem, sementara seluruh jung dan perahunya disita. Pada tahun 1780, setelah keadaan di Lasem tenang, penduduk Tionghoa di Babagan, Lasem mendirikan Klenteng Gie Yong Bio untung mengenang jasa ketiga pemimpin pemberontakan Lasem, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono.
 
Untuk memperingati kepahlawanan Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Tan Pan Ciang, masyarakat Tionghoa di Lasem mendirikan Kelenteng Tan Oei Ji Siang Sen atau Gi Yong Kong Bio (lit. Kelenteng Kebenaran dan Keberanian) pada tahun 1780an. Menurut penuturan para orang tua di Lasem, setelah pertempuran berakhir, seorang ahli ukir bermimpi bahwa di sungai Juwana terdapat dua batang kayu yang terapung. Kedua batang kayu tersebut tidak bisa diambil oleh siapapun meskipun banyak yang menginginkan. Si ahli ukir diperintahkan dalam mimpi tersebut untuk mengambil kedua batang kayu dan mengukirnya menjadi patung Tan Oei Ji Sian Seng sebagai pengingat bagi anak dan cucunya.
Makam Oei Ing Kiat dipercaya berada di kompleks pemakaman Gunung Bugel, Desa Warugunung, Pancur, Rembang. Makam tersebut dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, bahkan sering dikunjungi oleh penduduk berbagai daerah, terutama setiap malam Jumat dan Minggu pagi.
 
Referensi:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber

Prasasti Kudadu Gunung Butak

Prasasti Kudadu ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Prasasti Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan dengan 11 September 1294 M, dengan menggunakan aksara Kawi Majapahit. Prasasti ini dipahatkan pada lempeng tembaga (tamra praśasti) yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardha Anantawikramottunggadewa. Prasasti Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti (Gunung) Butak – sesuai dengan lokasi ditemukan prasasti – menyebutkan tentang pemberian anugerah raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan Desa Kudadu sebagai sīma untuk dinikmati oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Para pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah demikian karena telah berjasa kepada raja sebelum dinobatkan menjadi raja dan masih bernama Narārya Saṃgrāmawijaya. Pada waktu itu, Sa

Prasasti Pedang Goujian (Raja Yue/Yi)

Pedang Goujian (simplified Chinese: 越王勾践剑; traditional Chinese: 越王勾踐劍) adalah artefak manuskrip arkeologis dari periode Musim Semi dan Musim Gugur (771-403 SM) yang ditemukan pada tahun 1965 di Hubei, Cina. Dibuat dari perunggu, terkenal karena ketajaman dan ketahanannya terhadap noda yang jarang terlihat pada artefak yang sudah sangat tua. Artefak manuskrip bersejarah Tiongkok kuno ini saat ini dimiliki dan disimpan oleh Museum Provinsi Hubei. Pada tahun 1965, ketika penelitian arkeologi dilakukan di sepanjang saluran air utama kedua Waduk Sungai Zhang di Jingzhou, Hubei, serangkaian makam kuno ditemukan di Kabupaten Jiangling. Penggalian dimulai pada pertengahan Oktober 1965, berakhir pada Januari 1966, akhirnya mengungkapkan lebih dari lima puluh makam kuno Negara Chu. Lebih dari 2.000 artefak ditemukan di situs tersebut, termasuk pedang perunggu berhias prasasti, yang ditemukan di dalam peti mati bersama dengan kerangka manusia. Peti mati itu ditemukan pada bulan Desember 1965, d