Langsung ke konten utama

Propoganda Kolonial dan Kesalahan Dalam Pemahaman tentang Moksa

Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya jawa dimasa sekarang tidak mengetahui lagi asal usul sejarah nenek moyangnya, pada era kolonial usaha distorsi dan pengaburan sejarah dan budaya begitu masif dilakukan oleh pihak kolonial dalam memepertahankan hegemoninya dengan politik devide et empera.

Sederet kesaksian dalam manuskrip catatan tiongkok maupun portugis menyebut secara pasti asal usul leluhur masyarakat Indonesia khususnya jawa yg berasal dari daratan tiongkok sebagai bagian dari masyarakat tiongkok itu sendiri.

Usaha distorsi dan pengaburan semakin kuat dilakukan oleh ahli-ahli kolonial dengan teori dikotomi yang dilakukan untuk menghilangkan identitas leluhur jawa. Keseriusan pihak kolonial dalam mendistorsi/mengaburkan sejarah dan budaya nusantara khususnya jaaa tidak tanggung tanggung dengan mendirikan sekolah yang bertujuan Brainwash(cuci otak), untuk melancarkan akal rencanya pihak kolonial banyak dibantu para pujangga kraton, serta aktif mensosialisasikan pengaburan sejarah tersebut melalu kesenian-kesenian tradisional untuk mencuci otak masyarakat bawah.

Salah satu contoh kata yang dikaburkan oleh pihak kolonial adalah kata MOKSA yg diasosiasikan dengan menghilang beserta raga-raganya, padahal kata tersebut maknya dimasa lampau jelas tidak seperti itu, karena itulah perlu kiranya kita mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dimasa kolonial saat penjajah dan para pujangganya memutarbalikkan sejarah sehingga masyarakat Indonesia khususnya jawa terputus dari sejarah leluhurnya, catatan sejarah yang akan dipaparkan bertujuan untuk memahami kembali siapa manusia Indonesia dan dari mana asal usul leluhurnya, smoga paparan tersebut bisa bermanfaat....salam kebajikan smoga diberkati....sancai 3x.


Kata Mo-Sa/Mok-Sa merupakan dialek Kanton merupakan kosa kata Tiongkok dari 無色 Wu-Se, yang mana artinya :

無 Wu atau dialek lain Mo/Mok, Ma/Mak, artinya : Tanpa, Tidak, Bukan, Ketiadaan

色 Se atau dialek lain Sa, artinya : Warna, Rona, Naungan, Bayangan, Penampilan, Ekspresi, Kesenangan, Keinginan yang kuat (Keinginan), Nafsu, Hasrat seksual, Materi, Keduniawian

Jadi kata 無色 Mo-Sa/Mok-Sa atau Wu-Se artinya Tanpa Kesenangan atau Tanpa Keinginan Materi/Keduniawian.

Jadi makna 無色 Mo-Sa/Mok-Sa atau Wu-Se sebagai kata keadaan yang menjelaskan seseorang yang tidak mementingkan kepada urusan kesenangan, materi, hasrat seksual, atau urusan keduniawian.


Kata 無色 Mok-Sa/Mo-Sa atau Wu-Se lawan katanya (Antonim) adalah 個而色 Ke-R Sa (Kersa/Karsa).

Kata 色 Se atau Sa digunakan pada kata Ka-R Sa yang mana maknanya adalah :

個 Ge atau Ke, dialek lain : Ka, Ko, artinya : Bagian, Klasifikasi (Klas), Jenis, Masing-masing, secara terpisah

而 Er atau R, artinya : Ke, Sebagai, Jadi, Kemudian, Dan, Demikian, Kecenderungan

色 Se atau dialek lain Sa, artinya : Warna, Rona, Naungan, Bayangan, Penampilan, Ekspresi, Kesenangan, Keinginan yang kuat (Keinginan), Nafsu, Hasrat seksual, Materi, Keduniawian

Jadi kata 個而色 Ke-R Sa/Ka-R Sa arau Ge-Er Se artinya Sebagai Bagian dari Keinginan/Kesenangan/Hasrat seksual/Nafsu/Materi/Keduniawian.


無色 Wu-Se atau Mo-Sa/Mok-Sa merupakan proses dalam tahap 無極 Wu-Ji (Wu-Chi) atau dialek lain Mo-Gi (Kanton) atau Bo-Ke/Bo-Kek (Hokkien) artinya Ketiadaan Tertinggi atau Tanpa ada batas tertinggi, yang merupakan proses ajaran Tao (Dao), kata Wu-Ji disebutkan dalam Tao Te Ching (Dao De Jing) bab 28.


Kesalahan Pemahaman dan Propoganda Kolonial


Jika kata Mok-Sa dimaknai sebagai sesorang yang menghilang selamanya dengan jasad atau raganya, itu merupakan salah besar.

Pemahaman Mok-Sa yang bermakna seseorang yang menghilang dengan jasad atau raganya yang dialami Prabu Bra Wijaya ditemukan dalam serat Dharmogandul yang ditulis Ki Kalam Wadi yang merupakan nama samaran dari Ronggowarsito.


Ronggowarsito merupakan pujangga keraton Surakarta yang mana banyak sekali serat dan babad yang diciptakan olehnya, termasuk Babad Tanah Jawi, Sabdo Palon dan Noyo Geng Gong, Jangka Jayabaya yang dipercaya oleh penganut Kejawen dengan Ratu Adil atau Satrio Piningit atau Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu yang dikait-kaitkan dengan urutan 7 presiden Indonesia (menurut para kejawen).

Ronggowarsito diangkat sebagai Pujangga Surakarta oleh Pakubuwono VII yang menggantikan Ayahnya Yosodipura II pada tahun 1830 setelah Ayahnya Meninggal.


Sebelumnya pada tahun 1827 Johan Friedrich Carl Gerick atau J.F.C Gerick seorang Misionaris Netherland Bijbel Genootshcap (NBG) atau Lembaga Alkitab (Bibel) Belanda sebagai utusan dari VOC (Belanda) yang telah tinggal di kraton Surakarta pada masa Pakubuwono VII.

Pada tahun 1832 J.F.C Gerick mendirikan Instituut Der Javaansche Taal Te Surakarta atau Institut (Lembaga) Budaya dan Bahasa Jawa di Surakarta.

Institute atau Lembaga ini menitik beratkan dalam propaganda Budaya dan Bahasa Jawa atau dikenal Javanologi (Ilmu budaya Jawa).

Pada saat itu Ronggowarsito sebagai penyokong atas serat-serat atau babad untuk J.F.C Gerick.

Dari Lembaga atau Institute inilah lahir tentang istilah Kejawen atau dalam bahasa Belandanya Javaansche atau Javanologi.

Pada masa Pakubuwono VII juga tercipta kalender Pranata Mangsa.


Dalam masa inilah banyak serat-serat, Babad hingga tulisan Carakan atau Hanacaraka tercipta yang mengandung agenda politik VOC (Belanda) dalam mempertahankan status Quo dan menyamarkan asal-usul sebagai bagian dari Tiongkok dan juga sebagai propaganda brainwash (cuci otak) dengan tujuan generasi berikutnya akan kehilangan asal-usulnya dari timur Tiongkok.

Tidak hanya dalam bidang Budaya bahkan pada tahun 1890 Eugene Dubois mempropagandakan asal-usul Manusia Jawa atau Java Man dengan mengaitkan penemuan fosil Pithecantropus Erectus.


Hasil dari propaganda Javaansche atau Javanologi atau Kejawen inilah yang menciptakan Jawa centris yang mengandung agenda politik dalam mempertahankan status Quo hingga tidak mengetahui asal-usulnya, mempercayai klenak-klenik atau hal-hal yang tidak dapat dicerna akal dan pikiran karena akal dan pikiran terbelenggu atau terikat yang tidak bebas atau 無極 Wu-Ji (Wu-Chi).


Oleh. Kang Janhonone


Editor. koh tzu


Referensi:

https://id.m.wikipedia.org/wiki/J.F.C._Gericke

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Kedukan Bukit - Palembang

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146. --->>>Teks Prasasti Alih Aksara     svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu     klapakşa vulan vaiśākha dapunta hiya<m> nāyik di     sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa     vulan jyeşţha dapunta hiya<m> maŕlapas dari minānga     tāmvan mamāva yamvala dualakşa dangan ko-(sa)     duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu     tlurātus sapulu dua vañakña dātamdi mata jap     sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula...

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber...

Prasasti Yupa / Mulawarman dari Kutai

Prasasti Yupa atau Prasasti Mulawarman, atau disebut juga Prasasti Kutai, adalah sebuah prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa/Tugu (sementara yang ditemukan) yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa (Pa-Lao-Wa /Lao-Lang) dan dalam bahasa campuran sansekerta dan Yi (Hok-Lo / Ge-Lao) Kuno, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 200 Masehi sesuai catatan kanung retawu terawal yg berkisar abad ke-2/3 M, meskipun sebagain sejarahwan menduga sekitar pd tahun 400 M. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub.[1] Isi prasasti yupa/mulawarman menceritakan Raja Mulawarman yang memberikan sumbangan kepada para kaum Brahmana berupa sapi yang banyak. Mulawarman disebutkan sebagai cucu dari Kudungga, dan anak dari Aswawarman. Prasasti ini merupakan bukti peninggalan tertua dari kerajaan yang beragama Dharma (Hindu?) di Indonesia. Nama Kutai umumnya digu...