Langsung ke konten utama

Prasasti Kedukan Bukit - Palembang

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.

--->>>Teks Prasasti
Alih Aksara
    svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu
    klapakşa vulan vaiśākha dapunta hiya<m> nāyik di
    sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
    vulan jyeşţha dapunta hiya<m> maŕlapas dari minānga
    tāmvan mamāva yamvala dualakşa dangan ko-(sa)
    duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu
    tlurātus sapulu dua vañakña dātamdi mata jap
    sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula<n>...
    laghu mudita dātam marvuat vanua...
    śrīvijaya jaya siddhayātra subhikşa...

Alih Bahasa
    Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari ke sebelas
    paro-terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
    sampan mengambil siddhayātra. di hari ke tujuh paro-terang
    bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
    tambahan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan
    dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu
    tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)
    sukacita. di hari ke lima paro-terang bulan....(Asada)
    lega gembira datang membuat wanua....
    Śrīwijaya jaya, siddhayātra sempurna....

--->> Keterangan
Pada baris ke-8 terdapat unsur pertanggalan, namun bagian akhir unsur pertanggalan pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bagian tersebut diisi dengan nama bulan. Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956:11-15) dan M. Boechari (1993: A1-1-4) mengisinya dengan nama bulan Āsāda. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Āsāda yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi.[2]

Menurut George Cœdès, siddhayatra berarti semacam “ramuan bertuah” (potion magique), tetapi kata ini bisa pula diterjemahkan lain. Menurut kamus Jawa Kuna Zoetmulder (1995): sukses dalam perjalanan. Dengan terjemahan tersebut kalimat di atas dapat diubah: “Sri Baginda naik sampan untuk melakukan penyerangan, sukses dalam perjalanannya.”

Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data sebagai berikut:[3] Dapunta Hyang berangkat dari Minanga dan menaklukan kawasan tempat ditemukannya prasasti ini (Sungai Musi, Sumatera Selatan).[4] Karena kesamaan bunyinya, ada yang berpendapat Minanga Tamwan adalah sama dengan Minangkabau, yakni wilayah pegunungan di hulu sungai Batanghari. Ada juga berpendapat Minanga tidak sama dengan Malayu, kedua kawasan itu ditaklukkan oleh Dapunta Hyang, tempat penaklukan Malayu terjadi sebelum menaklukan Minanga dengan menganggap isi prasasti ini menceritakan penaklukan Minanga.[5] Sementara itu Soekmono berpendapat bahwa Minanga Tamwan bermakna pertemuan dua sungai (karena tamwan berarti 'temuan'), yakni Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri di Riau,[6] yakni wilayah sekitar Candi Muara Takus. Kemudian ada yang berpendapat Minanga berubah tutur menjadi Binanga, sebuah kawasan yang terdapat pada sehiliran Sungai Barumun (Provinsi Sumatera Utara sekarang).[7] Pendapat lain menduga bahwa armada yang dipimpin Jayanasa ini berasal dari luar Sumatera, yakni dari Semenanjung Malaya.[8]

Kiagus Imran Mahmud dalam bukunya Sejarah Palembang menyatakan bahwa Minanga tidak mungkin Minangkabau, karena istilah tersebut baru muncul setelah masa Sriwijaya. Ia berpendapat bahwa Minanga yang dimaksud adalah Minanga di daerah Komering, Sumatera Selatan. Tamwan berarti pertemuan dua sungai (di Minanga), yaitu Sungai Komering dan Lebong. Tulisan Matayap tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang dimaksud adalah Lengkayap, sebuah daerah juga di Sumatera Selatan.[butuh rujukan]

--->>Tiga Pertanggalan dalam Prasasti Kedukan Bukit

Di dalam Prasasti Kedukan Bukit terdapat tiga pertanggalan yang menun­jukkan tiga peristiwa penting yang dilakukan oleh Dapunta Hiyaŋ. Ketiga pertan­galan itu adalah sebagai berikut:
1) Pada 11 paro terang bulan Waiśākha (23 April 682 Masehi), Dapunta Hiyaŋ naik perahu dari pusat pemerintahannya di suatu tem­pat di tepi sungai, pergi menuju kuil Buddha untuk merayakan hari Waiśak sambil berdoa untuk keberhasilan ekspedisi yang akan dilaku­kannya. Setelah upacara selesai kemudian ia kembali lagi ke pusat pe­merin­tahan­nya untuk melakukan persiapan ekspedisinya.
 2) Dapunta Hiyaŋ naik perahu dari Mināńa pada 7 paro terang bulan Jyestha (19 Mei 682 Masehi) dengan membawa tentara 20.000 orang, perbekalan 200 peti yang naik perahu, dan 1312 orang tentara yang berjalan kaki untuk merebut Mukha –-p-.
 3) Pada 5 paro terang bulan Āsādha (16 Juni 682 Masehi) di suatu tempat Dapunta Hiyaŋ mendirikan perkampungan. Tempat per­kampungan Śrīwijaya didirikan dikenal kini dengan Palembang. Di tempat inilah prasasti Kedukan Bukit ditemukan.

Referensi
    ^ The Encyclopedia of Malaysia: Languages and Literature, Volume 9 / edited by Prof. Dato' Dr. Asmah Haji Omar
    ^ Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.
    ^ Damais, Louis-Charles, (1952), Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46.
    ^ Soekmono, R., (2002), Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2, Kanisius, ISBN 979-413-290-X
    ^ Irfan, N.K.S., (1983), Kerajaan Sriwijaya: pusat pemerintahan dan perkembangannya, Girimukti Pasaka
    ^ Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X.
    ^ Muljana, Slamet, (2006), Sriwijaya, PT. LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-8451-62-1
    ^ Coedes, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. hlm. 82. ISBN 978-0-8248-0368-1.

sumber:
-Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
-(Sumber: Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II)
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/tiga-pertanggalan-dalam-prasasti-kedukan-bukit/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber

Prasasti Kudadu Gunung Butak

Prasasti Kudadu ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Prasasti Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan dengan 11 September 1294 M, dengan menggunakan aksara Kawi Majapahit. Prasasti ini dipahatkan pada lempeng tembaga (tamra praśasti) yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardha Anantawikramottunggadewa. Prasasti Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti (Gunung) Butak – sesuai dengan lokasi ditemukan prasasti – menyebutkan tentang pemberian anugerah raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan Desa Kudadu sebagai sīma untuk dinikmati oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Para pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah demikian karena telah berjasa kepada raja sebelum dinobatkan menjadi raja dan masih bernama Narārya Saṃgrāmawijaya. Pada waktu itu, Sa

Prasasti Pedang Goujian (Raja Yue/Yi)

Pedang Goujian (simplified Chinese: 越王勾践剑; traditional Chinese: 越王勾踐劍) adalah artefak manuskrip arkeologis dari periode Musim Semi dan Musim Gugur (771-403 SM) yang ditemukan pada tahun 1965 di Hubei, Cina. Dibuat dari perunggu, terkenal karena ketajaman dan ketahanannya terhadap noda yang jarang terlihat pada artefak yang sudah sangat tua. Artefak manuskrip bersejarah Tiongkok kuno ini saat ini dimiliki dan disimpan oleh Museum Provinsi Hubei. Pada tahun 1965, ketika penelitian arkeologi dilakukan di sepanjang saluran air utama kedua Waduk Sungai Zhang di Jingzhou, Hubei, serangkaian makam kuno ditemukan di Kabupaten Jiangling. Penggalian dimulai pada pertengahan Oktober 1965, berakhir pada Januari 1966, akhirnya mengungkapkan lebih dari lima puluh makam kuno Negara Chu. Lebih dari 2.000 artefak ditemukan di situs tersebut, termasuk pedang perunggu berhias prasasti, yang ditemukan di dalam peti mati bersama dengan kerangka manusia. Peti mati itu ditemukan pada bulan Desember 1965, d