Langsung ke konten utama

GUNUNGAN 山海經 SHAN HAI JING

Wayang Gunungan juga disebut Kayon yg merupakan wayang pembuka dan penutup pagelaran wayang kulit yang mengkiaskan simbol kehidupan, setiap gambar yg ada didalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya, mulai dari manusia hingga hewan serta hutan beserta perlengkapannya yang dilambangkan gunung dan blumbangan/lautan.

Gunungan bukan berasal dari India ataupun arab tetapi merupakan warisan budaya dari leluhur jawa sebagai nasehat/petuah pada generasi penerus untuk mempelajari kitab Gunungan Segoro atau dalam bahasa tiongkok dikenal dengan Shan Hai Jing.


Shan Hai Jing atau Shan Hai Cing artinya Kitab Gunungan / Pegunungan dan Lautan.

Shan Hai Jing merupakan salah satu sastra Tiongkok yang pokok dan merupakakan harta yang berharga bagi budaya Tiongkok.

Bahkan Shan Hai Jing di aplikasikan ke dalam simbol Wayang Gunungan dan Blumbangan dalam budaya Jawa.


Kata 山 Shan yang artinya Gunungan atau Pegunungan direpresentasikan ke dalam wayang Gunungan yang menggambarkan hutan dan hewan-hewannya.

Sedangkan kata 海 Hai yang artinya Lautan atau Samudra direpresentasikan dengan Blumbangan yang menggambarkan kolam (laut) dengan ikannya (hewan di laut).


Sejarah Shan Hai Jing 山海經


Shanhaijing (山海經) adalah salah satu buku terpenting dalam studi mitologi bangsa Tiongkok kuno. Buku itu bahkan semacam ensiklopedia dari Tiongkok kuno, menggambarkan berbagai gunung , laut , berbagai tanaman , obat-obatan, mitos, religi , sejarah , budaya , etnisitas dan berbagai hal lainnya dari Tiongkok kuno.


Sanhaijing terdiri dari 8 bab dan terbagi lagi kedalam dua bagian utama: The Classic of Mountains dan The Classic of Seas , masing-masing terdiri dari 5 bab dan 13 bab dan berjumlah total 31 ribu kata.


Kapan Sanhaijing ditulis dan siapa penulisnya masih misterius. Tapi banyak sarjana percaya bahwa Sanhaijing ditulis oleh berbagai penulis yang berbeda dari masa yang berbeda. Diperkirakan Sanhaijing di tulis pada masa Negara Berperang (Warring states) sampai awal Dinasti Han.


Materi dalam Sanhaijing juga cukup kontroversial. Beberapa sarjana berpikir bahwa buku itu merupakan buku geografi, karena terkandung berbagai deskripsi tentang gunung , laut , sungai dan sebagainya.


Yang lainnya bahwa Sanhaijing adalah buku tentang ilmu gaib, mencatat berbagai teks tentang para dewa dan aktivitas kaum shaman, termasuk bagaimana mereka naik dan turun dari Langit, komunikasi antara dewa dan manusia, bagaimana mereka menciptakan angin dan hujan, bagaimana mereka menciptakan elixir untuk keabadian.


Beberapa bagian Sanhaijing juga memuat mitologi bangsa Tiongkok kuno. Figur yang paling dikenal adalah Nuwa (女媧), Xiwangmu (西王母), Gun , Yu the Great (大禹 , Pendiri Dinasti Xia) , Jingwei , Huang Di (Kaisar Kuning) dan Chiyou (蚩尤), juga mitos tentang tangga Langit, pilar yang menopang angkasa, burung berkaki tiga yang membawa matahari dan banyak kisah lainnya. Kisah disajikan secara terpenggal atau lengkap. Misalkan pertempuran antara Huangdi dan Chiyou.


Dikisahkan Chiyou membuat senjata dan menyerang Huangdi. Kemudian, Huangdi memerintahkan Yinglong untuk meluncurkan serangan melawannya di rimba belantara dari Zhongyuan. Yinglong memulai dengan menampung semua air. Chiyou meminta Fengbo (Dewa Angin) dan Yu Shi (Dewa Hujan) untuk melepaskan hujan deras. Kemudian Huangdi meminta putrinya , Dewi Ba untuk meredakan hujan sampai berhenti sekaligus membunuh Chiyou.


Kisah ini tercatat secara ringkas namun lengkap. Kisah lainnya seperti bagaimana burung dewata Jingwei mengisi lautan, pahlawan Kuafu mengejar matahari dan bagaimana para pahlawan kultural seperti Gun dan Yu mencoba meredakan banjir besar juga ditulis dengan lengkap. Dengan alasan ini , sangat sulit untuk setuju dengan argumen yang mengatakan bahwa narasi dari Mitos Tiongkok itu lemah.


Sumber: Budaya-Tionghoa Net | Mailing-List Budaya Tionghoa


Referensi:

Lihui Yang & Deming An, "Handbook of Chinese Mythology" , Cambridge , "The History Of Ancient China"

https://lontarsejarah.blogspot.com/2020/11/wayang-kulit-dalam-tinjauan-kesejarahan.html?m=1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Kedukan Bukit - Palembang

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146. --->>>Teks Prasasti Alih Aksara     svasti śrī śakavaŕşātīta 605 (604 ?) ekādaśī śu     klapakşa vulan vaiśākha dapunta hiya<m> nāyik di     sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa     vulan jyeşţha dapunta hiya<m> maŕlapas dari minānga     tāmvan mamāva yamvala dualakşa dangan ko-(sa)     duaratus cāra di sāmvau dangan jālan sarivu     tlurātus sapulu dua vañakña dātamdi mata jap     sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula...

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber...

Prasasti Yupa / Mulawarman dari Kutai

Prasasti Yupa atau Prasasti Mulawarman, atau disebut juga Prasasti Kutai, adalah sebuah prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa/Tugu (sementara yang ditemukan) yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa (Pa-Lao-Wa /Lao-Lang) dan dalam bahasa campuran sansekerta dan Yi (Hok-Lo / Ge-Lao) Kuno, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 200 Masehi sesuai catatan kanung retawu terawal yg berkisar abad ke-2/3 M, meskipun sebagain sejarahwan menduga sekitar pd tahun 400 M. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub.[1] Isi prasasti yupa/mulawarman menceritakan Raja Mulawarman yang memberikan sumbangan kepada para kaum Brahmana berupa sapi yang banyak. Mulawarman disebutkan sebagai cucu dari Kudungga, dan anak dari Aswawarman. Prasasti ini merupakan bukti peninggalan tertua dari kerajaan yang beragama Dharma (Hindu?) di Indonesia. Nama Kutai umumnya digu...