Langsung ke konten utama

Serat Bimosuci Dalam Pemahaman Ajaran Tao

Serat Bimosuci yang juga digubah menjadi serat dewaruci menggambarkan tentang pencarian diri sejati atau hakikat diri dan ketuhanan yang merupakan ajaran Nei-Dan dari filsafat Tao.

Karya sastra ini diperkirakan masuk ke Jawa dan ditulis pada masa peralihan majapahit dan demak di padepokan candi CeTo/Ce-Tao, dan menurut penelitian, naskah2 ini di tulis oleh empu Siwamurti yang mana naskah asli nya adalah kitab Nawaruci yang redakturnya berupa bahasa kawi dan di terjemahkan ke dlm bahasa jawa modern oleh sunan kalijaga.
Berikut ini saya tuliskan ringkasan serat bimosuci yang digubah menjadi serat dewaruci yg di terjemahkan kedalam bahasa indonesia(nasional)
Semoga dapat menambah wawasan kita terhadap khasanah budaya

–Serat Dewaruci (Bimosuci) —

Arya Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna (resi durna) ia disuruh mencari air yang mensucikan kepada badannya (tirta nirmala atau air ke hidupan), Arya Sena alias Wrekudara pun pulang memberi kabar tentang keberangkatan nya untuk mencari tirta nirmala kepada keluarga dan saudara2 nya di negeri Ngamarta, tak lupa ia mohon diri kepada kakaknya yaitu Prabu Yudistira,dan adik-adiknya semua,, ketika kebetulan di hadapan kakaknya,Arya Sena berkata bahwa ia akan pergi mencari air suci atas petunjuk petunjuk dari gurunya,
Sri Darmaputra heran mendengar kata-kata adiknya,memikirkan marabahaya yg akan di hadapi adik nya Sang Raja menjadi berduka, lalu Raden Satriya Dananjaya berkata sambil meyembah kepada Kanda Raja bahwa membiarkan arya sena pergi itu tidak baik,
Sudahlah jangan diizinkan, adinda (Wrekudara) itu pergi rasanya itu tidak baik, Nakula dan Sadewa juga menyetujui kata-kata Dananjaya.
sifat kakanda tuanku,prabu suyudana yang tinggal di Ngastina hanya ingin menjerumuskan kita ke dalam kesengsaraan,tentu dhang hyang Druna dibujuk oleh nya agar medustai arya sena,demi musnahnya Pandawa.
Arya Sena mendengar itu lalu menjawab,aku tak mungkin dapat ditipu dan dibunuh.!! karena ingin mencari kesempurnaan demi kesucian badan ku ini,setelah berkata begitu Sena lalu segera pergi. Sang Prabu Darmaputra dan ketiga adiknya sangat heran melihat sikap bima (arya sena) mereka merasa bagaikan akan kehilangan sesuatu.
Tak terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedihan,diceritakanlah perjalanan Sena.
tanpa kawan hanya sendirian,hanyalah sang petir yang mengikutinya dari belakang,ia berjalan lurus menentang jalan nya angin topan yang menghadang di depan terdengar gemuruh riuh,orang-orang desa bingung,yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan sambil menyembah.
Kesediaan yang sudah disanggupi tak mungkin ditolehnya,sangat kuat tekadnya untuk menuju hutan Kurusetra,jalan besar yang dilaluinya sungguh cepat ia berjalan,pintu gerbang sudah tampak dari kejauhan,puncaknya seperti mutiara berbinar-binar dari jauh seperti pelangi, bagaikan matahari kembar, sampai di sini dulu kisah perjalanan Arya Sena Wrekudara.
sekarang dikisahkan keadaan di negeri Ngastina.
Prabu Suyudana memanggil
seluruh pembesar negri ngastina,Resi Durna telah tiba di dalam istana bersama Raja Mandaraka,Adipati Karna pun ikut dan sentana/pembesar andalan menumpas bahaya,semua dipanggil masuk keistana Adipati dari Sindusena, Jayajatra,Sang Patih Sangkuni,Bisma dan Dursasana,
Raden Suwirya Kurawa yang sakti,dan Raden Jayasusena Raden Rikadurjaya,tiba dihadapan Raja yang disembah.,dan yang menjadi pembicaraan adalah agar menang dalam perang mengalahkan para Pandawa,namun jangan sampai terjadi perang Baratayuda,yaitu memusnahkan sang Pandawa dengan cara ditipu secara halus.
Mereka sepakat,Raden Sumarma Suranggakara, menyetujui semua pembicaraan.
demikianlah sifat Sang Prabu Suyudana dalam hatinya tidak begitu mempedulikan tentang kecurangannya,
bahkan terhadap saudara dekat sekalipun.(Pandawa)
ketika sedang asyik nya mereka bercakap-cakap Wrekudara datang terburu-buru masuk ke dalam istana.
Terkejutlah semua yang hadir,lalu Prabu suyudana berkata pelan hai adikku marilah kesini,Raden Wrekudara langsung menghadap mendekati prabu suyudana ,Dhang Hyang Druna yg ada di sebelah prabu suyudana segera meyembah,lalu dirangkul dan dipeluknya leher wrekudara,dan berkata wahai anakku kau jadi pergi mencari air jernih untuk menyucikan diri,niscaya jika itu kau temukan,
Air suci penghidupan(tirta nirmala),sudah berarti kau mencapai kesempurnaan, menonjol di antara sesama makhluk, dilindungi ayah ibu, mulia darimu anakku,berada dalam triloka,adanya kekal. Arya Sena berkata sembah, ya dimanakah tempatnya sang air jernih itu,mohon aku ditunjukkan.
Sungguh akan kutunjukkan, Resi Druna lirih kata-katanya, aduh anakku tercinta,air suci itu letaknya,berada di hutan Tibrasara,ikutilah petunjukku harus diperhatikan,air itu akan menyucikan dirimu,
carilah itu di bawah Gandawedana,di gunung Candramuka.
Carilah di gunung-gunung,di dalam gua gua di situlah letaknya,air suci yang sesungguhnya.di masa lalu belum ada yang tahu tempatnya.
Arya Bima gembira hatinya, ia pun mohon diri sambil meyembah kepada Druna dan Suyudana
Prabu di Ngastina suyudana berkata pelan,berhati-hatilah adikku Jangan sampai tersesat
dalam usaha mencari nya oleh karena sulitnya letak air suci itu,Arya Sena menjawab pelan,aku tidak akan mengalami kesulitan dalam menjalankan petunjuk sang guru. Lalu Bima pun segera mohon diri keluar dan melanjutkan perjalanan nya untuk mencari tirta nirmala.
Sementara itu yang masih tinggal di dalam istana semua terseyum,Raja Mandaraka berkata lirih bagaimana caranya ia memperoleh air itu.
Gunung Candramuka dan guanya yang ditinggali dua raksasa yang sangat menakutkan dan sangat besar,tentu akan hancur lebur arya sena menghadapi dua raksasa serupa gunung yg selama ini tak ada yang berani melawan kedua nya,lalu semuanya yg ada di situ tertawa,mereka merasa berhasil dengan tipu muslihatnya,Lalu mereka pun bersuka ria pesta makan-minum sepuas-puasnya,
berganti yang dikisahkan.
Di gunung candramuka
Arya Sena terus berjalan, sampai dihutan hatinya sangat gembira sebentar lagi ia akan menemukan air jernih yang dicari dari petunjuk gurunya,ia tak mengira bahwa itu semua hanyalah tipu muslihat,dengan berani bahaya besar ditempuhnya, hatinya hanya memperhitungkan kegembiraam yg akan ia dapat,dengan gembira pula ia mencari si air jernih di gunung Candramuka,jalan sulit pun ditempuh nya.
Jurang curam dan lebatnya hutan,satwa bercerai berai diterjangnya,kerbau kijang dan banteng,hanya kera dipucuk pohon semakin memanjat tinggi ketakutan, perjalanan Wrekudara, bersama petir dan badai, banyak cabang pohon yang patah, para pendeta dan murid-muridnya yang sedang bertapa di pertapaan.
Meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengungsi, karena takut kepada petir dan keributan,mereka mengira bahwa yg menimbulkan gara-gara adalah Sang Hyang Bayu yang turun dari kahyangan, perjalanan Sena tersebut melewati pertapaan membawa bau harum dimana-mana,bersinarlah daun-daun yang berserakan, bunga cempaka,angsana dan gandasuli,argula dan nagapuspa.
Banyak yang mekar dan gambir melati,pertapaan yang ditinggalkan pun seolah kelihatan condong menyambut yang sedang melakukan perjalanan, kumbang-kumbang yang hidup,bagaikan bersedih hatinya memberi jalan sehingga menyebabkan suasana duka,orang yang sedang melakukan perjalanan mencari si air jernih ketika sang surya sedang di puncak ubun-ubun keringatnya berlelehan.
Semakin kencang sang bayu dan petir mendorongnya, Sena semakin cepat melangkah,matahari bersinar suram,oleh deras arus angin dan petir,oleh besarnya dorongan,pohon-pohon tumbang dan patah bersama akarnya, murid-murid padepokan berlarian, bingunglah para pendeta yang melihat,menyambut dengan memberi sajian secukupnya.
Tetapi kata-katanya tidak diperhatikan,Arya Sena terus berjalan,dengan berjalan lurus,setelah sampai di gua gunung Candramuka bebatuan disingkirkan, dengan sungguh-sungguh ia mencari,air maya dicari tidak ada ,Arya Sena semakin.
Bersungguh-sungguh dalam mencari air maya dalam gua yang sudah dirusak sehingga tampak terang benderang tanpa tanda-tanda, tempat air maya,dalam gua diobrak-abrik,semakin menuju ke tengah,Sena berjalan dalam usaha mencari air,sang air jernih, lain yang diceritakan orang yang sedang mencari itu,ada yang akan diceritakan lagi.
Rukmuka dan Rukmakala
Yang sedang di dalam gua, raksasa Rukmuka dan Rukmakala, terkejut mendengar suara yg menggoncangkan gunung, rusaknya gua di bagian luar, riuh terdengar angin dan petir,mereka mencium jelas ada bau sesuatu yaitu bau manusia,kedua raksasa itu pun bergerak siap bertempur, raksasa Rukmakala.
Berteriak dan mengeram menakutkan,kedua raksasa itu pun keluar dari persembunyian nya, gerak-geriknya menakutkan, bagaikan sang Hyang Kala yang turun dari langit ketika marah seolah akan mencabut bumi, ia menyambar dan menerkam geraknya, sesampai nya di luar gua ia melihat manusia seorang diri yang tak lain adalah aryasena yang merusak gua. kemarahannya meledak-ledak,orang dari manakah gerangan engkau,
Yang dengan berani merusak tempat tinggalku,!! tak pelak ia akan menjadi santapanku,lalu kedua raksasa itupun segera menyambar dan menerkam, Arya Sena terkejut melihat kedua raksasa yang baru tiba itu,dengan keras ia berkata, wahai raksasa yang akan menganggu,kedatanganku mengikuti petunjuk guruku, mencari air suci.
“Kedatanganmulah yg mengganggu kami,tak pelak tentu kau akan menerima tamparanku,menyahut kedua raksasa itu”, Rukmuka dan Rukmakala sambil menggeram mereka menerkam Wrekudara, mengigit leher samping, dikeroyok nya kanan kiri.
Raden Wrekudara tetap tangguh,lehernya digigit tidak apa-apa,dikunyah tidak apa-apa,digulat tidak mempan,Wrekudara tidak tahan memcium bau kedua raksasa yang anyir dan bacin, ia pun murka,dan dengan terampil bertempur.
Ditendang nya kedua raksasa itu lalu segera ditangkap nya dengan kedua tangan, dibanting nya ke atas batu dan meledak hancur menjadi bangkai kedua raksasa itu, raksasa Rukmuka dan Rukmakala telah tewas, terlepaslah penderitaan kedua nya,raksasa itu sebenarnya adalah dua dewa yang Terkena kutukan,Endra dan Bayu yang dimarahi Hyang Pramesthi, dikutuklah menjadi raksasa keduanya,lalu mereka tinggal di gua Candramuka. setelah kedua musuhnya sirna,arya sena segera melanjutkan pencarian nya, gua itu dirusaknya,namun air yang di cari tidak juga ditemukan.
Selama mencari,dalam gua rusak berat diobrak-abrik, lelah pun datang menghampiri nya menyambut malam,ia berdiri dibawah pohon beringin dengan bersedih hatinya,mencari sang air suci tak kunjung di temui,tak berapa lama Arya Sena mendengar suara yang bergema.
Hyang Endra dan Hyang Bayu pun merasa kasihan,merekapun berkata2, wahai cucuku yang sangat bersedih karena mencari tidak menjumpai,engkau tidak mendapat bimbingan yang nyata tentang tempat benda yang kaucari itu, sungguh menderita dirimu, Wrekudara ketika mendengarnya Menjawab.
siapa yang bersuara itu karena tidak kelihatan olehku,apakah ingin membunuhku,?mari kupersilahkan,lebih baik aku mati daripada pulang tidak mendapatkan air yang kucari, suara itu tertawa senang,apakah kau pura-pura tidak tahu kepadaku,ingatkah
Kau ketika membunuh kedua raksasa itu,ya kami inilah dua raksasa itu,sebenar nya kami adalah dua dewa yang terkena marah Hyang Guru, akhirnya kau yang melepaskan kesusahan kami,dengan cara membunuh kami,kau telah melepaskan kutukan itu dari kami, kami Sang Hyang Endra dan Bathara Bayu,san Rukmakala dan Rukmuka nama kami.
Kau mencari air suci melalui petunjuk Druna kepadamu ,air itu nyata memang benar-benar ada,itulah sang air penghidupan,tetapi bukan disini tempatnya,!kau kembalilah ke Astina,yang merupakan tempatnya yang nyata,Di Nagara Ngastina
Wrekudra ketika mendengar kata-kata kedua dewa tersebut,berhentilah dia dari kebingungan hatinya,lalu tak lama ia pun segera pergi pulang ke negeri Ngastina, tak diceritakan keaadaannya dalam perjalanan,sesudah nya sampai di istana, pada waktu itu Sang Prabu Kurupati.
Lengkap duduk diserambi muka istana,Resi Druna, Bisma dan sang Raja,Raja Mandaraka Prabu Salya, Patih Arya Sangkuni,lengkap bala Kurawa menghadap dimuka sang raja,Sindukala dan ayahanda, Suranggakala dan lainnya.
Kuwirya Rikadurjaya,dan Jayasusena duduk di depan, terkejut mereka melihat kedatangan Raden Wrekudara.!
lalu mereka mempersilakan orang yang baru datang itu, wahai adikku Sena, berhasilkah kau menunaikan tugasmu.?
Adikku aku hanya ingin bertanya,kedatanganmu tentu membawa hasil,? Resi Druna menyambung lirih, bagaimana hasilmu, Wrekudara menjawab bahwa tidak berhasil,di gunung Candramuka hanya dua raksasa yang ditemuinya
Rukmuka dan Rukmakala, telah kubanting agar lekas berhenti menggangguku,di dalam gua semua kacau balau dan sudah ku cari-cari tetap tidak kutemukan,paduka harus memberi petunjuk yang jelas sehingga tidak perlu mengulang seperti ini.
Dhang Hyang Druna segera memeluk,wahai kau yang sedang kuuji,sungguh kau mau mengikuti petunjuk gurumu,kini telah terbukti bahwa kau tidak menolak dalam melaksanakan perintahku,sekarang kau akan kuberi petunjuk tentang letak yang sebenarnya,
Yaitu di tengah samudera, jika sungguh kau akan berguru kepadaku,masuklah engkau ke dalam samudra luas itu,Arya sena menjawab, jangankan masuk ke dalam lautan,di puncak surga pun atau di dasar bumi ketujuh pun,Tak mungkin aku takut melaksanakan petunjuk paduka yang benar.Druna berkata ya anakku jika itu kau temukan,orang tua dan kakekmu yang sudah mati, kelak hidupnya ada padamu, dan kau akan menonjol di dunia ini.
Tak akan ada senjata yang mampu melukai,semua lebur dan kalah olehmu,Sri Duryudana menyambung, wahai Sena adikku, bagaimana caramu menempuh perjalanan, karena perjalan itu lebih berbahaya,tentang letak air jernih itu.
Jadi Janganlah kau seperti anak kecil,berhati-hatilah.! Wrekudara menjawab,hai Kurupati diriku ini kuserahkan kepada dewata, janganlah kau ragukan, relakan daku,jangan sedih hatimu karena tentu aku akan selamat sampai tujuan.
Ya adikku semoga berhasil, langkah-langkahmu dan mendapat restu dari dewa yang agung, Arya Sena mohon diri, kepada Druna dan sang raja di Ngastina sesudah itu ia segera pergi keluar dari istana untuk pulang ke ngamarta terlebih dahulu,Lapor kepada Raja Ngamarta.
tentang negeri Ngamarta, sepeninggal Wrekudara yang tidak dapat dicegah sehingga menimbulkan kesedihan mendalam.
Prabu Darmaputra, dan Sang Dananjaya dengan adiknya berdua beserta anak istrinya, prihatin hatinya,dan merasa khawatir,itulah yang menjadikan pembicaraan nya dan menjelaskan kesedihan hatinya,kepada sang Prabu Harimurti.
Maka Pergilah seorang utusan Ngamarta,membawa surat ke Dwarawati,surat itu pun disampaikan kepada sang raja,lalu dibuka nya dan diresapkan kedalam hati, sangat terkejut hati sang raja Prabu Harimurti.Sangatlah tidak enak hatinya,ia pun segera memerintahkan untuk pergi ke Ngamarta beserta bala pasukan,pasukan itu berangkat dengan tergesa-gesa,lalu sampai lah mereka di Ngamarta, menghadap kepada sang raja ,sang raja Yudhistira pun lekas menyambut bersama adik-adiknya.
Mereka dipersilahkan Masuk istana lalu dipersilahkan duduk,Dananjaya dan adiknya menghaturkan sembah,lalu Prabu Darmaputra Yudhistira berkata tentang Sena dan tingkahnya sejak awal tengah dan akhir semua disampaikan nya,yang mendengarkannya heran dalam hati yaitu sang Prabu Harimurti.
Kemudian ia berkata,Dinda Prabu janganlah bersedih hati,tingkah adik kita, Wrekudara dalam usahanya mencari air suci jernih itu sesungguhnya ditipu oleh para Kurawa yang curang, serahkanlah saja kepada dewata yang agung.
Orang yang ingin mengabdi, kata-kata yang baik itu harus dijalankan dan yakin kepada dewata yang agung,yang akan menjatuhkan bencana, kelak tentu akanmendapatkan balasan.
lalu berkata prabu Yudhistira,oleh karena kesedihan hati kami ini maka saya Kemudian segera memberi kabar kepada paduka kakanda tentang tingkah Sena itu,karena jika ia tidak lekas datang juga,
saya dan adik yang lain dari Madukara bermaksud akan mencari ke mana perginya,
dan saya sampaikan semua maksud ini kepada paduka,tak lain hanya minta petunjuk paduka untuk kami laksanakan.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan Sena,kedua raja itu segera memeluk Sena,hati mereka sangat gembira,Dananjaya dan Nakula Sadewa,Raden Pancawala dan Sembadra, Retna Drupadi dengan Srikandi.
Putra dan adik-adik mengabdi mengahturkan sembah kepada sena semuanya,lalu berkata sang prabuHarimurti, mari kita berpesta dan bersenang-senang atas kepulangan sena ini,
namun segera Arya Wrekudara menjawab, tak usah berpesta pora,bukan itu yg ku nantikan.
Kepada orang yang suka berpesta ku beritaukan kedatanganku hanya ingin memberi kabar,bahwa aku sudah mohon diri kepada kalian, dan kepadamu Kresna kedatanganku hanya ingin memberi tahu bahwa aku akan pergi ke tengah samudera,mencari air suci sesuai Petunjuk Dhang Hyang Druna,mencari air penghidupan yang tempatnya di pusat samudera,itu lah yang akan kucari,lalu berkatalah adik-adik Sena, duh kakanda jangan lakukan itu,itubukanlah tugas hal itu tidak patut dilaksanakan, mendengar itu diamlah Prabu Yudhistira.
Kemudian katanya pelan, kepada kakanda Sri Harimurti,bagaimana kehendak paduka sekarang,paduka sudah mengetahui demikianlah kehendak Sena dan tidak dapat dihalang-halangi,Sri Kresna diam tak dapat berkata-kata,sangat heran dia,bingung dalam hatinya tak dapat menjawab pertanyaan sang Yudhistira.
Segera Sang Prabu Yudhistira,menoleh kepda adinda,Parta Nakula dan Sdewa menyembah dan mencium kaki sena sambil menangis,Raden Pancawala dan,Sumbadra Srikandi ikut menangis pula,semua meminta dengan paksa,dan Prabu Harimurti masih memberikan nasihat kepada Arya Sena.
Sena tidak dapat ditahan-tahan lagi,ia tak goyah dikungkung oleh tangis,Dananjaya memegangi tangan, dua adik lain memegangi kedua kakinya, dan sambil menangis mengiba-iba,Sri Kresna yang selalu menasihati,Srikandi dan sumbadra yang masih tetap menangis dan menghalang-halangi, dikibaskan aryasena semua nya terlempar.
Wrekudara tak dapat dipegangi,cepat langkahnya sudah jauh,yang ditinggal bersedih bagaikan mati,Parta dan kedua adiknya,akan menyusul mengikuti di belakangnya,mereka merasa takut menemui rintangan atas kakaknya,Sri Harimurti menjadi terdiam dan semua kebingungan.
Di setiap tempat terdengar tangisan,semua sentana lelaki perempuan,satria menghadap di muka,Sang Prabu Harimurti tak henti-hentinya menasihati dan adik-adik nya semua terdiam dan khidmad mendengarkan jadilah sang Padmanaba,tinggal di dalam istana.
dikisahkanlah yang sedang dalam perjalanan.
Semakin jauh perjalanan Arya Sena,sudah masuk kedalam hutan tak terpikir olehnya segala bahaya diperjalanan,tak ada bahaya dilihatnya,orang-orang yang ditinggal di perbatasan, semua heran mendengarnya, perjalanan Arya Sena, bagaikan naga yang sangat menakutkan,menyerang bahaya agar tercapai tujuan hidup nya.
Pepohonan terhanyut oleh angin,cabang patah oleh angin yang bertiup bagaikan memaksa bunga-bunga untuk mekar,angin bertiup tersebar berbunga,gerimis dengan semerbak harum,tampak kuning dengan leher yang bersinar,bunga pudak bergoyang-goyang tampak bagaikan betis tertiup kain kebaya.
Lain dari kesedihan yang dirasakan saudara2 nya sejak kepergian dari negerinya, babi hutan gelisah,bagaikan bertanya kepada Arya Sena, merak bersuara dibelakangnya,bersahutan dengan burung cucur, seolah-olah mengajak pulang, kijang pulang dari hadapannya,bagaikan memendam kesedian yang mendalam.
Capung bersuara bersahut-sahutan, seolah-olah seperti menjawab burung hantu dan burung dares bersuara, menyambar-nyambar di udara,bagaikan mengahalangi jalan, kembalilah Sang Malat Kung, kodok di dalam liangnya, memohon dengan sangat bahwa itu hanya kecurangan, merupakan ulah orang-orang yang berbuat jahat.
Pada waktu itu sang matahari tidak muncul karena tengah malam,burung kedasih bersuara bersahutan mustika ganeya pun bernyanyi, menciptakan dengung di sekitarnya seolah-olah menyarankan akan mati,bahwa perintah Dhang Hyang Druna tidak menuju keselamatan,dipenuhi dengan kata-kata yang penuh bahaya dalam perjalanan.
Kuku hiasan jari-jarinya, yang diperoleh dari Hyang Bayu,menuruni ujung gunung dengan langkahnya pelan-pelan,dikawal awan putih,dari jauh kelihatan, tempat tinggal sang Dewa Haruna (Dewa Matahari) berjalan di atas air laut, tampak sorot Sang Maharesi Dipaningrat.
Ada seekor burung yang tampak bersuara keras dan bernyanyi-nyanyi,seolah memberi isyarat supaya lekas kembali kepada yang menderita dalam perjalanan, hewan-hewan hutan menjerit-jerit memberi isyarat kepada yang sedang berduka,melewati hutan lebat berbahaya,tampak lah tepi laut dan ombak bergulung-gulung menerpa karang.
Riuh bagaikan sorak-sorai peperangan semakin dekat semakin tampak karang
yang menyembul,
dan ombak-ombak itu melindungi,ada yang bagaikan gajah yang menoleh dan mendekam,Wrekudara sudah sampai,ia berdiri di tepi laut ragu-ragu ia menatap tepi laut itu.
Sang ombak bagaikan bunga gelagah menggempur batu karang bagaikan menyambut yang baru datang,dan menyarankan untuk kembali saja,topan datang juga, suaranya riuh menggelegar, ombak bergulung-gulung, tampak kasihan kepada yang baru datang,bahwa ia ditipu agar masuk ke dalam samudera.
Druna memberi petunjuk yang sesat petunjuknya tidak benar,namun Sena tidak ingin pulang menentang sang Maharesi,lebih baik mati di tepi laut,kemudian ia melihat berbagai bentuk perahu, berbondong-bondong di atas lautan,bercahaya dengan layar yang berkembang.
Menyebar laju perjalanannya,setiap perahu satu persatu namun tidak ada yang memisahkan diri tetap bersaudara masih menyatu, nakoda kapal semua mengangkut dagangan, berlayar ke timur, lama Arya Sena melihat kapal-kapal itu lewat,lalu ia berkata dalam hati bagaimana caraku nanti Masuk ke dasar samudera, mencari air penghidupan padahal aku tidak mampu masuk ke dalam air, seandainya seperti Pamadi yang mampu masuk kedalam air menyelam tampak terang tak berbeda dengan di atas daratan,lama Wrekudara berkata-kata dalam hati.
Akhirnya ia berpasrah diri karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Sang Pandhita Druna dan Prabu Kurupati dalam mencari Sang Tirta Kamandanu,
Maka masuklah ia kedasar samudera,hati Sena tidak merasa takut,sakit dan mati memang sudah kehendak Dewata yang agung.
Dengan suka cita ia memandang laut perlahan-lahan kesedihan hatinya sudah terkikis,ia menerawang tanpa batas, Sang Moneng bagaikan tugu batu,ombak besar menakutkan terus menerus bergulung-gulung,air mundur menghalangi,tampak tanah pantai menyembul, ketakutannya bagaikan gulungan bunga yang mekar.
Rambunya mengombak-ombak, bagaikan rambut sambungan yang terlepas dari ikatannya,tak dapat dikatan dalam tulisan, isi laut beberapa keindahan yang tampak,keindahan dalam air itu sungguh sangat panjang bila diceritakan.
Wrekudara Mencebur ke Laut
Maka sang Arya Wrekudara lama menatap keindahan isi laut,sesudah itu ia lalu memusatkan perhatiannya, tidak lagi memikirkan marabahaya,jika tidak menemukan si air maya jernih tirta kamandanu di dasar samudera
Malu jika pulang tanpa hasil, lebih baik mati di laut tak lain hanya petunjuk sang guru yang dipikirkan, sesudah itu lalu Wrekudara segara bersikap diri dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut,ia tak akan mundur menghadapi ombak samudera.
Dalam samudera kegembiraannya tampak,air membasahi kaki menyentuh tubuhnya,ombak menggelombang menampar wajahnya dan bergerak-gerak menerpa badan,menyentuh lehernya.
Sena teringat ilmunya Jalasengara,agar air dapat menyibak setelah ilmu itu diucapkan,ia terus berjalan ke tengah tak memperhitungkan bahaya dalam air,itulah cerita tentang Sang Wrekudara,
lain lagi cerita,di sini di pusat samudra Ada naga besar yang memangsa ikan di laut, berbisa sangat mematikan, bergerak mendekati apa yang dilihatnya lalu segera mengambang di air,tubuh nya sebesar gunung anakan, wajahnya tampak liar dan ganas,mulut nya menganga menakutkan.
Bagaikan dikebur keadaan air laut itu bergoyang-goyang bagaikan gempa,Sena terkejut melihatnya,berkata ia dalam hati bahaya yang datang berupa naga besar menakutkan menganga bagaikan gua taringnya tampak tajam bercahaya, menyemburkan bisa bagaikan hujan, lalu nagaitu menerkam dengan segera,melilit bagaikan membalutnya.
Sesudah badannya dililit oleh tubuh ular naga itu,Sena merasa kecut hatinya,seolah maut yg menanti telah melekat di tubuhnya, kebingungan ia mengira akan cepat mati,semakin meronta sang naga semakin kuat lilitannya.
Tubuh Sena dililit semua, hanya tinggal lehernya yg masih tampak,sang naga pun semakin ganas, mengencangkan lilitannya, ada kapal dagang yang medekat,lalu lekas pergi menjauh menghindari
Bagaikan disapu awak perahu itu mengira ada angin salah tiup,sedangkan saja Sena masih dililit naga,ia lelah tak kuasa meronta kemudian ia teringat kuku pancanaka segera saja ia menikamkan kukunya tepat di tubuh naga itu,kemudian darah pun memancar.
Kuku Pancanaka menancap di badan naga,langsung naga itu mati,darah keluar dengan deras,air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri,air bercampur darah, naga besar sudah mati.

———- Diketahui Sang Marbudyengrat/Dewa Ruci ———-

Naga Mati oleh Sena, seisi laut itu gembira, diceritakanlah, Ri Sang Paramengparasdya(dewaruci),melihat perjalanan sang Kaswasih(bima),Sang Amurwengrat(dewaruci), kedatangan Sang Amamrih yang Di utus tidak mengetahui hakekat tugasnya,Air Penghidupan Jernih yang tanpa arah,air yang melihat air,suksma berjiwa penuh rahasia,tak mungkin ditemukan,bila tidak mendapat anugerah yang sebenarnya.

Di Negara Ngamarta
Syahdan diceritakan, Raja Pandawa yang bersedih hatinya, semakin dipikirkan perihal keadaan Saudaranya, semua ingin menyusul, jangan sampai menemui kesulitan.
Semua memohon dengan penuh iba kepada Prabu Harimurti dan semua menangis,berkatalah Sang Kresna bahwa adinda tidak sampai meninggal dunia.
Bahkan sena akan mendapat pahala dari Dewata,nanti dia akan datang dengan kesucian ia akan mendapatkan cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas,diizinkan berganti diri,menjadi Batara yang berhasil menatap dengan hening.
Maka janganlah bersedih hati,gembirakanlah hati kalian,hilang lah rasa cemas mereka setelah mendengar penjelasan demikian dari Sang Prabu Kresna akan keberhasilan adindanya.

Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera,sudah bertemu dengan Dewa berambut panjang,bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil bermain-main di atas air laut.
Berkata Sena apa kerjamu, apa tujuanmu tinggal di laut semua serba tidak ada,tak ada yang dimakan,tidak ada makanan,dan tidak ada pakaian.
Dewaruci menjawab
Hanya ada daun kering yang tertiup angin,jatuh di depanku,itu yang saya makan,jika tidak ada tentu tidak makan.
Sang Wrekudara,heran melihat dan mendengarnya.
Dewa berambut panjang di laut tanpa kawan,kecil sekali, siapakah dia,hanya sebesar bayi namun dapat berjalan di atas air,sombong sekali, tanpa kawan hanya sendirian.
Berkata lagi dewaruci wahai Wrekudara,datang ke sini, banyak rintangannya jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini,disini segalanya serba sepi Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, di sini tidak mungkin ditemukan,Sena bingung hatinya,jawabnya, karena tidak tahu maksudnya.
Sehingga Wrekudara menjawab pelan,terserah kepada guru, Dewa Ruci berkata, kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal para raja,ayahmu pun,keturunan dari Brama, menyebarkan pra raja,Ibumu Dewi Kunti yang memiliki keturunan yaitu Sang Hyang Wisnu Murti.
Hanya berputra tiga dengan ayahmu,Yudistira sebagai anak sulung,yang kedua dirimu, sebagai panengah/ketiga adalah Dananjaya,yang dua anak dari keturunan dengan Madrim,genaplah Pandawa, kedatanganmu di sini pun.
Juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari, Air Penghidupan berupa air jernih,karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya.
Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, dan jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan,janganlah berpakaian,bila belum tahu, nama pakaianmu.
Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup,ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas,oleh tukang emas diberi Kertas kuning
dikira emas mulia,demikian pula orang berguru,bila belum paham akan tempat yang harus disembah, Wrekudara ketika mendengar itu,terduduk merendahkan diri,
Air menyibak menjadi tempat duduk bagi Wrekudara,iapun berkata meminta kasih, mohon diyakini siapakah tuanku sebenarnya, mengapa di sini sendirian,? aku Sang Marbudyengrat berkatalah Sang Dewa Ruci.
Sena berkata jika demikian, saya ingin meminta kasih, dan petunjuk karena tidak tahu,pengabdian diri ini sama seperti hewan hutan,tidak seberapa,waspada kepada badan yang suci,Lebih bodoh tolol dan penuh kekurangan di dunia,ditertawakan di mana-mana,bagaikan tubuh keris yang tanpa kerangka, perkataan tanpa batas,lalu berkatalah dengan manis Sang Dewa Ruci. 
Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, terkejut mendengar kata-katanya,Wrekudara tertawa, dengan terbahak-bahak,katanya, tuan ini bertubuh kecil,saya bertubuh besar,dari mana jalanku masuk,kelingking pun tidak mungkin dapat masuk.
Dewa Ruci terseyum dan berkata lirih,besar mana dirimu dengan dunia ini,semua isi dunia,hutan dengan gunung,samudera beserta semua isinya,tak sarat masuk ke dalam tubuhku.
Wrekudara setelah mendengar,agak takut menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci.
Di dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga,sudah sampai di dalam tubuhnya ia melihat laut luas tanpa tepi jauh sekali ia berjalan,tampak jauh terlihat,Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau lihat,Arya Sena berkata bahwa tampah jauh,tak ada yang tampak.
Langit luas yang kutempuh, langit yang sangat luas, aku pergi ke mana-mana,tak tahu mana utara dan selatan,tidak tahu timur dan barat,bawah atas dan depan,serta di belakang,aku tidak tahu, bingung sekali sang Dewa Ruci berkata pelan,jangan takut tenangkan dirimu
Tiba-tiba terang tampaklah Dewa Ruci,Wrekudara Sang Wiku terlihat memancarkan sinar,kemudian ia tahu utara selatan,timur barat sudah tahu,di atas dan dibawah, juga sudah diketahui, kemudian terlihat matahari, nyaman rasa hati melihat Sang Wiku di balik dunia ini,
Dewa Ruci berkata lirih, jangan berjalan lihat-lihatlah, apa yang tampak olehmu, Wrekudara menjawab, ada empat macam benda yang tampak olehku semua itu, sudah tampak,hanya empat warna yang dapat kulihat, hitam merah kuning dan putih.
Sang Dewa Ruci berkata lagi, yang pertama kau lihat cahaya,menyala itu bernama pancamaya sesungguhnya itu ada di dalam hatimu,itu yang memimpin dirimu, maksudnya hati yang disebut mukasifat,yang menuntun kepada sifat,lebih merupakan sifat itu sendiri.
Lekas pulang jangan berjalan,selidikilah rupa itu jangan ragu untuk menetapkan hati,mata hati itulah yg menandai pada hakikatmu,
senang hati Sang Sena mendengarkan nasihat itu,
sedang yang berwarna merah hitam kuning dan putih itu adalah penghalang hati.
Isi dunia ini sudah lengkap, yaitu hati tiga hal merupakan pendorong segala langkah,bila dapat memisahkan tentu dapat menyatu dengan gaib,itu adalah musuh pendeta,hati yang tiga (curang) berwarana hitam merah kuning semua, menghalangi pikiran dan kehendak yang abadi,
Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu,persatuan sukma mulia tentu akan terjadi persatuan kawula/rakyat, abadi dalam persatuan, perhatikan dan ingatlah, penghalang yang berada dalam hati dan ketahuilah benih-benihnya,yang hitam lebih perkasa kerjanya marah terhadap segala hal dan murka secara menjadi-jadi.
Itulah hati yang menghalangi, menutupi tindakan yang baik, yang hitam itulah kerjanya, sedangkan yang merah, menunjukkan nafsu yang baik segala keinginan keluar dari situ,panas hati yang menutupi kepada hati yang sadar kepada kewaspadaan.
Sedangkan yang berwarna kuning, kerjanya menanggulangi segala hal,itulah pikiran yang baik jadinya,pekerjaan agar lestari,hati kuning yang menutupi,hanya suka merusak,kemudian yang putih berarti nyata itulah hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian.
Hanya itu yang dapat menerima akan firasat hakikat warna,merupakan tempat menerima anugrah nya, yang dapat melaksanakan,mengabdikan persatuan keinginan.
hati yg tiga itu musuh pertapa(curang) kawannya sangat banyak, yang berwarna putih hanya seorang diri tanpa kawan, maka ia sering kalah.
Memang bila dapat memenuhi kepada tiga hal yang merusak di situlah letak persatuannya,tanpa pedoman tentang persatuan makhluk dan pencipta,Wrekudara mendengar, dengan giat ia berusaha, dengan penuh tekad,untuk mencapai pedoman hidup,demi kesempurnaan persatuan.
Setelah hilang empat hal itu ada lagi,nyala satu delapan warnanya,Wrekudara pelan bertanya,apakah namanya, nyala satu dengan delapan warna, mana yang nyata, mana yang sesungguhnya, ada yang seperti ratna bersinar,ada yang maya-maya bergerak cepat,ada manik-manik yang berkilat-kilat.
Marbudyengrat berkata sang Dewa Ruci, itulah sesungguhnya yang disebut tunggal,semua warna itu artinya sudah ada padamu, semua itu ialah isi dunia ini, digambarkan atas dirimu,dan dunia yang agung,jagad kecil tak berbeda,timur ada utara, barat dan selatan itu, timur luhur di bawah.
Dan hitam merah kuning putih,ialah kehidupan di dunia,alam kecil dan alam besar,memang sama isinya, pertimbangkanlah olehmu, bila hilang warna nya maka semua alam akan sepi,semua usaha tidak akan ada,dikumpulkan atas satu rupa saja,tidak lelaki tidak perempuan.
Bagaikan lebah muda yang tampak bagaikan putih gading, marilah tengok, Wrekudara melihat, sesuatu yang bagaikan berputar putih gading,cahaya memencar berkilat berpelangi melengkung,
apakah gerangan itu bentuk Dzat yang dicari,? yang merupakan hakikat rupa.?

Menjawab pelan Dewa Ruci,”iku dudu ingkang sira sedya, kang mumpuni ambek kabeh, tan kena sira dulu, tanpa rupa datanpa warni, tan gatra tan satmata, iya tanpa dunung, mung dumunung mring kang awas, mung sasmita aneng ing jagad ngebeki, dinumuk datan kena.”
Artinya ;
itu bukan yang kau cari, yang menguasai segala hal, tak boleh kau lihat,tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berujud dan tidak tampak, ya tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat,
di dunia ini memenuhi, dipegang tidak dapat.
Sedang yang kau lihat itu, yang tampak seperti berputar mutiara yang berkilat cahayanya, memancar menyala-nyala, itulah yang bernama sang Pramana, kehidupan tubuhnya, sang Pramana menyatu dengan dirimu, tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuhmu.
Tidak makan dan minum, juga tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga tinggal tak berdaya, sungguh badan tanpa daya, itulah yang mampu, merasakan penderitaannya, dihidupi oleh sukma, ialah yang berhak menikmati hidup dan mengakui rahasia Dzat.
Juga dikenakan kepadamu, tetapi bagaikan bulu pada hewan, berada di raga, kehidupan Pramana dihidupi oleh Sukma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang kemudian, kehidupan Sukma ada.
Sirna itulah yang ditemui, kehidupan sukma yang sesungguhnya,terlalu upamanya, bagaikan rasa kemumu (kepinding), Pramana anresandani, sebenarnaya satu asal, dibuktikan hal itu, berkata sang Wrekudara, iya benar bagaimana warna yang sejati, Dewa Ruci berkata.
Hal itu boleh kau ambil, dan keadaan semata-mata, mudah sulit sarannya, Wrekudara berkata, aku minta ajaran lagi, juga harus tahu, sama sekali, aku menyerahkan diri meminta dengan busana yang sebenarnya, janganlah tanpa hasil.
Jika demikian saya tidak mau keluar, lebih baik tinggal di sini saja,tidak ada hambatannya, tidak akan makan dan tidur,tidak mengantuk juga tidak lapar,tidak mengalami kesulitan, tidak sakit-sakit ngilu, hanyalah enak dan manfaat, Dewa Ruci berkata itu tidak boleh,jika belum mengalami mati.
Semakin banyak ajaran Dewa Ruci, kepada Sang Kaswasih, yang memintanya, wahai itu perhatikanlah, hal yang menggagalkan laku,jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspadalah dalam segala tingkah laku,jika semua sudah kau dapatkan jangan gaduh dalam berbicara, jadika itu hal yang dirahasiakan.
Tidak boleh kau bicarakan secara sembunyi-sembunyi, dan sesama manusia, bila tidak dengan anugrahnya jika berselisih, membicarakan bahan pembicaraan ini, lekaslah kau mengalah saja, jangan sampai berlarut-larut, jangan memajakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tetapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati, peganglah dalam pemusatan pikiran, rupa yang sebenarnya, disimpan oleh buana, rupa tak ada yang menghidupi, tidak seberapa waktu, memang keberadaannya sudah melekat pada diri,sungguh menyatu padu dengan dirimu,sudah menjadi kawan akrab.
Tak dapat dipisahkan,tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan duni, penglihatan dan pendengaran, juga sudah ada pada dirimu, pendengaran sukma sejati.
Tanpa telinga dan mata, mata dan telinga diciptakan, untuk dirimu lahirlah sukma pada dirimu, batinmu dalam sukma begitulah kenyataannya.
Itu bagaikan kayu dibakar, asapnya muncul dari api beserta pohon itu, bagaikan air dan ombak lautan, bagaikan minyak dalam susu, tubuhmu bergerak leluasa.
Serta mendapatkan anugerah yang benar,jika tahu penyatuan ini, persatuan khalik dan makhluk, serta permintaanmu, sukma yang diharapkan ada, sedangkan bentuknya itu Sudah ada pada dirmu, dirimu bagaikan wayang segala gerak-gerik dari sang dalang yg memainkan, dunia merupakan panggungnya atau layar yang digunakan untuk memainkan wayang.
Gerakan wayang-wayang dari ki dalang yang memainkan, berlaku dan berucap, dalang berkuasa antara perpaduan kehendak, karena hal itu tidak berbentuk.
Warna dan bentuk sudah ada padamu, seumpama hiasan yang sejati, tempat bercermin Hyang Sukma, bayangannya itulah yang ada dalam hiasan, namanya makhluk ini.
Di dalam kaca rupanya, lebih besar dari yang diceritakan ini, daripada besar jagad, besar yang diceritakan ini, seumpama selembut tetes air, masih lebih kecil dan halus kematian.
Seumpama sekecil kutu, lebih kecil kematian ini, sesungguhnya lebih menguasai, juga terhadap segala sesuatu, maksudnya besar kecilnya itu dapat menjelma dalam kematian besar dan kecil pula.
Semua itu tidak tahu karena tertutup, yang merangkak di tanah, serta yang melata tak berbeda semua memiliki kelebihan nyata,yang merasa lebih banyak menerima
Tidak boleh menyombongkan diri terhadap ajaran dan nasehat,hayatilah dengan sungguh-sungguh,basuhlah dirimu,ketahuilah segala rahasia tingkah,nasehat merupakan benih
Seumpama yang diajari misalnya papan batu atau cadas,yang menasihati umpamanya kacang kedelai disebar di bebatuan, jika batu tanpa tanah.
Tentu tidak akan tumbuh, jika kau bijaksana, tinggalkan hal demikian itu, hilangkan adanya, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
Suara itu kembalikan,rupa kepada yang punya, pada pokoknya kau ini sesungguhnya, hanya dijadikan pengganti, tetapi janganlah kau punya kegemaran dalam hatimu.
Selain kepada Hyang Luhur, menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, karena dua hal telah kau anggap sudah menjadi diri sendiri.
Sesungguhnya akan merasakan dua hal itu, masih ragu dalam hati, akan menjadi lekas marah, jika sudah menyatu, setiap gerak, tentu juga merupakan kehendakmu.
Terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada padamu, semua jagad ini karena dirimu, merupakan pengganti, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham, akan segala tanggungjawab, rahasiakan dan tutupilah maknanya, jangan pamerkan pakaianmu, tetapi dalam batinmu Sebentar pun harus kau ingat jangan sampai kau terlupa, dalam kenyataan tutupilah, akan empat macam hal anggaplah semuanya termasuk kelimanya ini Yang terbaik,untuk di sini dan di sana juga,yaitu bagaikan mati di dalam hidup,bagaikan hidup dalam mati,hidup abadi selamanya, yang mati itu juga.
Ya itu yang menuju pada nafsu, badan sekedar melaksanakan secara lahir, diterima badan ini, perpaduan sewujud tunggal, mengapa merasa mati.
Wrekudara setelah mendengar perkataan sang guru, hatinya terang-benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugrah, anugerah wahyu sesungguhnya
Bagaikan rembulan terhalang oleh hujan, memikirkan wahyu nugraha, seumpama mendung suci, menyingkir kotoran kemudian hilang, berkata lagi Dewa Ruci,Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan,tidak ada aji paran, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan.
Semua sudah berlalu, keberanian dalam berperang, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan,Sena berkata sanggup, akan dicamkan di dalam hati dan pikiran.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara sudah tidak bingung lagi, semua sudah dipahami, merasuk kedalam diri, dalam segala ulah tanding.
Sangat berlebihan suara membumbung, tanpa sayap dapat melanglang, segala penjuru jagad ini, sudah dikuasai juga, pantaslah susunan bahasanya bagaikan sekumtum bunga.
Kuntumnya masih kuncup, sekarang mekar mengembang semakin indah dan berbau harum, sang Pancaretna sudah diperbolehkan keluar keluar dari tubuh, sudah berganti alamnya.
Kembali ke alam kemanusiaan, Sang Dewa Ruci sudah sirna, dilihat tidak tampak, heran Raden Wrekudara, akhirnya gembira hatinya.
Mengharap anugrah sejati, berhasil mendapatkan baunya bunga kasturi yang mekar, hilanglah kekalutan hatinya, laksana selingkar dunia, ajaran kepada yang lebih muda.
Kata dengan marabahayanya,hilanglah kesucian hati, bukankah hanya sekedar melaksanakan, seperti dirimu itu, tubuh dengan busana indah, sutra maya halus, diperhalus dengan emas, perhiasan manik-manik,Wrekudara tuhu hikmah tingkah demikian.
Maka menyunting bunga berwarna hitam, berwarna indah serba menawan, tersurat bunga mekar, bernama kasturi sejati, bunga kasturi sejati sebagai tanda, tak sesuai dengan kemampuan kuku, dengan ujung kuku yang tajam, mengungkap kemampuan tidak keliru.
Kain merah tampak catur merah, dihiaskan kepala, celana dan kain dodot, padahal sudah di ingat, perhatikan masa lalu, ketika masih di dalam tubuh Sang Dewa Ruci, dinasihati tentang warna hitam, merah, kuning, merupakan penghalang tugas dan merintangi hati yang berniat baik.
Yang berwarna putih di tengah, jadi sumber keangkuhan, kelima yang digambarkan, sudah dibawa semuanya seketika, tak akan terlupakan, oleh karena seorang satria yang baik, maka Sang Wrekudara, membuat tirai untuk bersembunyi, untuk membasmi kesombongan pada dirinya.

Tujuan Mati Yang Salah

Werkudara pun memikirkan siang dan malam,tentang banyak hal yang didengarnya, tentang tingkah para pertapa yang berpikiran salah, akan ilmu ijab, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, ada yang mati menjelma burung engkuk.
Hanya memilih tempat hinggap, kayu yang berwarna baik, kayu nagasari dan anhsana, tanjung dan pohon beringin yang tumbuh di tepi pasar sang burung engkuk, melebihi orang-orang pasar, seperti mengharap kemuliaan, yang akhirnya tersesat dan terjerumus.
Anak yang menitis (reinkarsani) menjadi raja, yang kaya harta benda, dan memiliki banyak wanita cantik, serta mempunyai banyak putra-putri yang akan menguasai, setiap kesukaannya, semua mendapatkan kelebihan, dalam proses penitisan, bagi sang Wrekudara tidak akan.
Yang ada hanya pribadi, terhadap diri sendiri, semuanya dikatakan, jatuhnya tidak tepat benar, belum dapat disebut makhluk, yang sangat utama, demikianlah pengakuannya, yang dirasakan dahulu, menemukan suka kaya lagi berpangkat tinggi dirinya itu.
Tidak tahu jika mendapat marah (dimarahi), terlanjur demikian, ia menitis pada hewan-hewan, tanpa bekas titisannya, tak mungkin akan berhasil, tidak sama sekali, salah dalam perkiraan, oleh kegemarannya di masa lalu, mati menitis jatuhnya.
Tidak kuat menuju matinya, bingung dan tertutup juga melawan secara menyamar bersatu dengan orang banyak, oleh terlalu beratnya, gerakan menuju matinya dan menitis tidak akan menoleh kebelakang, ayah, ibu dan anak, dalam mencapai akhir, jika salah menjadi petaka dunia.
Lebih baik jangan jadi manusia, hewan lebih mudah bertingkah, tanpa kata-kata sirna, bila secara pelan akan menuju kebenaran tujuan, abad itu juga, tanpa sarana sebenarnya, seumpama diri adalah dunia, tak sperti batu diam, jernihnya pun tidak seperti air
Merata tanpa petunjuk, selain pendeta menganggap, dlam kematian yang dipaksakan,mendukung kepertapaannya,mengira akan dapat dicapai, dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, kekosongan pikiran, belum mendapatkan petunjuk yang nyata.
Tingkahnya seenaknya sendiri, bertapa dengan merusak tubuh, dalam mencapai kamuksan, tanpa kata ia hilang, gagallah bertapanya itu, sedangkan yang dikatakan lestari, bertapa digunakan sebagai, ragi bagi tubuhnya, ilmu itu merupakan lauknya.
Jika bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, jika ilmu tanpa dijalankan, hambar tidak mungkin jadi, asal semua itu juga, tidak dililit oleh penerapannya, ditopang kesulitan, jadi banyak pendeta, setengah-tengah dalam memberikan ajaran kepada muridnya
Murid nya pandai dengan sendirinya, ajaran yang disimpan dirasakan mulia, memberi tahu gurunya, ajarannya itu hannya dari pikiran, di masa lalu itu juga, belum pernah mendapatkan ajaran yang benar, jadi tidak enak dalam hatinya
Kemudian disampaikan kepada gurunya, gurunya heran mendengar hal itu, memegang teguh kata-katanya yang diperoleh dari, wiku yang punya kelebihan, tentu dianggap suatu kebenaran, itu wahyu anugrah, jatuh kepada dirimu, cantrik itu kemudian di akui sebagai anak
Ditanya mau atau tidak untuk diangkat oleh gurunya, jika gurunya akan memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya kemudian menjadi guru, sedangkan gurunya itu menjadi sahabatnya kemudian menjadi guru, sedangkan gurunya itu menjadi sahabat, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh.Itu keutamaan bagi keduanya, pendeta yang setengah-setengah, belum sakti dalam bertapa, terburu hatinya lalu, mengaku sebagai pendeta sakti setiap katanya harus dianut, berjalan-jalan disembah, tinggal di puncak gunung, bersuara keras memenuhi pertapaan.
Bila ada orang yang menghadap kepadanya, panjang lebar pesan yang diberikannya, bagaikan gong yang dipukul, banyak yang dikatakan tetapi tanpa isi, semua menjadi rugi, berguru kepada pendeta bingung, janganlah kau begitu, tingkah manusia hidup, usahakan dapat seperti wayang
Dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, yang merupakan lampu panggungnya, adalah matahari dan rembulan, dengan layarnya berupa alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan.
Ketika dirumah orang yang menonton, pengolah kehendak mengolah karsa yang tidak tergerakkan, kecerdikan kidalang, atas gerak-gerik sang wayang, ada juga selatan utara, barat serta timur, itulah umpanya, demikianlah tubuhnya, gerak dan diamnya dimainkan oleh ki dalang.
Disuarakan bila harus berkata-kata, dikatakan segala kehendaknya, yang melihat ulahnya, bahwa itu dari ki dalang yang berada dibalik layar, padahal jagad tidak ada yang tahu, yang menonton tidak terlihat, di dalam rumahnya, tanpa bentuk Hyang Sukma tidak tampak.
Sang cerdik dalam menjalankan wayang-wayangnya, menyampaikan laku-laku wayang, tidak jelas tempatnya, dan lagi tidak mengikuti di belakang, dalam dirinya, minyak yang bercampur dalam susu, bagaikan api dalam kayu, tidak ditunjukkan untuk tidak takut mati, sang cerdik bagaikan kayu yang sudah hangus
Bertumpukan sesama kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semua yang tergelar oleh perlindungan manusia jati, yang ditakdirkan lebih diakui sebagai rahasia.

INTI AJARAN DEWARUCI KEPADA BIMA SENA
Sebenar nya inti ajaran ini merupakan ajaran tasawuf yg di sampaikan dengan tatabahasa orang jawa..ada juga yg beranggapan bahwa karya sastra ini merupakan sumber pokok dari ajaran kejawen yg merujuk pada ilmu kesampurnan,citra sufistik itu sangat terasa kental terutama pada bagian ktika bima bertemu dan belajar pada dewaruci

termangu sang bima di tepian samudera dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis tak ada lagi tempat bertanya sesirnanya sang naga nemburnawa
dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan, tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun.
menghampir sang dewa ruci sambil menyapa: ‘apa yang kau cari, hai werkudara, hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini di tempat sesunyi dan sekosong ini’
terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri setelah melihat sang penanya ia bergumam: ‘makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
sang sena semakin termangu menduga-duga, dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku. entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini. dan siapa sebenarnya diriku ini
ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat yang tahu segalanya tentang dirimu anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma, anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka. yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka. datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya agar tidak mengalami kegelapan seperti ini terasa bagai keris tanpa sarungnya
sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup ingatlah pesanku ini senantiasa jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu, jangan menyuap sebelum mencicipnya. tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru, sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
janganlah bagai orang gunung membeli emas, mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba bertindak tanpa tahu asal tujuan sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku. lanjut sang marbudyengrat
sang sena tertegun tak percaya mendengarnya ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
kelingking pun tak akan mungkin muat. wahai werkudara si dungu anakku, sebesar apa dirimu dibanding alam semesta? seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku, jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika, dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci yang telah terangsur ke arahnya
heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya segala yang kau saksikan di sana hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci yakinilah bahwa di setiap kebimbangan senantiasa akan ada pertolongan dewata
dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih. apakah gerangan semua itu?
ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),penunjuk ke kesejatian,pembawa diri ke segala sifat lebih.cahaya empat warna,itulah warna hati hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal, hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki. hanya si putih-lah yang bisa membawamu ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam, namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma. adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna, ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar.
itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan. sering disebut jagad agung jagad cilik
dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu, tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin, akan tampak bagai lebah muda kuning gading amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku semakin cerah rasa hati hamba.
kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar. warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
bukan, anakku bukan, berusahalah segera mampu membedakannya zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat, tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya. dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati, ialah yang merawat raga tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari tempat ini serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda, di saat itulah sang suksma akan menghampirimu, dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api, bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara, yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
maka habislah wejangan sang dewaruci, sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan bagaikan kuntum bunga yang telah mekar. menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
dan blassss . . . ! sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat kembali ke alam nyata di tepian samudera luas sunyi tanpa sang dewaruci sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan.
Pilosofi dewa ruci
Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:”Serat Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian …….Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut….! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena. Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak. Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula :”Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan”. “Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :”Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah”. Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati. Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani. Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :”Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan. Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata, Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya. Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya,sewujud dan sejiwa,dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya. Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.


============================

MAKNA AJARAN DEWA RUCI


– Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
– Hutan Tibrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tibrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tibra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
– Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
– Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
– Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
– Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber

Prasasti Kudadu Gunung Butak

Prasasti Kudadu ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Prasasti Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan dengan 11 September 1294 M, dengan menggunakan aksara Kawi Majapahit. Prasasti ini dipahatkan pada lempeng tembaga (tamra praśasti) yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardha Anantawikramottunggadewa. Prasasti Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti (Gunung) Butak – sesuai dengan lokasi ditemukan prasasti – menyebutkan tentang pemberian anugerah raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan Desa Kudadu sebagai sīma untuk dinikmati oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Para pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah demikian karena telah berjasa kepada raja sebelum dinobatkan menjadi raja dan masih bernama Narārya Saṃgrāmawijaya. Pada waktu itu, Sa

Prasasti Pedang Goujian (Raja Yue/Yi)

Pedang Goujian (simplified Chinese: 越王勾践剑; traditional Chinese: 越王勾踐劍) adalah artefak manuskrip arkeologis dari periode Musim Semi dan Musim Gugur (771-403 SM) yang ditemukan pada tahun 1965 di Hubei, Cina. Dibuat dari perunggu, terkenal karena ketajaman dan ketahanannya terhadap noda yang jarang terlihat pada artefak yang sudah sangat tua. Artefak manuskrip bersejarah Tiongkok kuno ini saat ini dimiliki dan disimpan oleh Museum Provinsi Hubei. Pada tahun 1965, ketika penelitian arkeologi dilakukan di sepanjang saluran air utama kedua Waduk Sungai Zhang di Jingzhou, Hubei, serangkaian makam kuno ditemukan di Kabupaten Jiangling. Penggalian dimulai pada pertengahan Oktober 1965, berakhir pada Januari 1966, akhirnya mengungkapkan lebih dari lima puluh makam kuno Negara Chu. Lebih dari 2.000 artefak ditemukan di situs tersebut, termasuk pedang perunggu berhias prasasti, yang ditemukan di dalam peti mati bersama dengan kerangka manusia. Peti mati itu ditemukan pada bulan Desember 1965, d