Langsung ke konten utama

HIN-DU Dalam Pemahaman Sejarah dan Makna Kata


Biksu Yi Jing tinggal selama enam bulan di Sriwijaya untuk memperdalam(sekolah) bahasa Sanskerta(San Zi) sebelum bertolak ke India. Dia menyaksikan dan memeperhatikan banyak pusat keagamaan berbentuk wihara(kuil) di Sriwijaya, khususnya sebagai tempat menuntut ilmu.


Selain hal tersebut, keberadaan institusi pendidikan pada era Hindu-Buddha tercatat dalam prasasti, relief dan karya sastra. Pada masa itu, pendidikan erat kaitannya dengan agama, contohnya di lingkungan penganut Hindu, pendidikan didominasi oleh kaum brahmana. Paling tidak ada dua sistem pengajaran, yaitu di dalam lingkungan keraton dan di dalam sistem pertapaan (diluar keraton). 


Sistem pendidikan keraton dilakukan dengan cara guru mendatangi murid. Sementara dalam sistem pertapaan, murid biasanya yang mendatangi gurunya.


Gambaran mengenai pendidikan di dalam istana bisa ditemukan lewat kisah pewayangan. Dalam kitab Mahabharata, dikenal tokoh Drona yang merupakan guru Kurawa dan Pandawa. Dia mengajarkan seni peperangan, di mana Arjuna menjadi murid andalannya.


Di Nusantara, keberadaan guru di lingkungan keraton, paling banyak diketahui setelah masuk periode Jawa Timur. Misalnya, pada masa Kadiri, Raja Jayabhaya diketahui memiliki seorang pendamping yang menjadi gurunya. Keterangan ini terdapat dalam Prasasti Hantang (1135 M). 


Sedangkan di luar keraton(pertapaan), dalam teks kuno, ada yang disebut karsyan, patapan, dan mandala. Dalam Nagarakrtagama, ketiga istilah itu merujuk pada kelompok bangunan yang berfungsi sebagai pusat pendidikan agama. Ketiganya tempat menyepi serta tempat memuja leluhur dan dewa.


Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam ArkeologiPawitra mengartikan karsyan sebagai tempat bertapa para rsi, yang letaknya biasanya di lereng gunung atau tempat sunyi lainnya. Sementara mandalamerupakan perkampungan para rsi.


Di antara para rsi, banyak yang berusia lanjut. Dalam konsep ajaran Weda, seseorang yang sudah mempunyai cucu pertama dianjurkan untuk meninggalkan dunia ramai menjadi pertapa. Ketika itu mereka masuk dalam fase kehidupan wanaprastha(tinggal di hutan).


Tak hanya orang lanjut usia yang menyepi demi memperdalam ilmu. Anak muda juga melakukan hal serupa. Seperti Airlangga, penguasa Kahuripan. Prasasti Pucangan (1042 M) menguraikan, sang raja memulai karier politiknya setelah menjalani kehidupan di lingkungan pertapa. Selama dua tahun dia mendalami latihan rohani di Gunung Pucangan, yang ada di perbatasan Lamongan dan Jombang.


Pucangan merupakan salah satu di antara tujuh tempat rsi bersemadi pada era Majapahit sebagimana disebut dalam Nagarakrtagama. Enam lainnya adalah Gunung Penanggungan (Pawitra), Sampud, Rupit, Pilan, Jagadhita, dan Butun.


Baik dalam karsyan maupun mandalakadewaguruan, tapa merupakan materi pokok pelajaran. Karenanya tempat itu kemudian pada masa yang lebih muda dikenal dengan “tempat persamadian” atau yang menjadi cikal-bakal dari padepokan.


Bukan cuma urusan agama, mandalakadewaguruan juga mengajarkan ilmu kehidupan. Misalnya, keterampilan dan kebijakan hidup sebagai bekal menjalani kehidupan sosial. Pun juga adaptasi terhadap lingkungan, olah pikir, seni, kanuragan, olah batin, dan sebagainya.


Dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit, Lydia Kieven menulis bahwa tradisi pertapa yang tinggal di daerah terpencil mengalami peningkatan pada akhir periode Majapahit. Status sosial mereka pun melambung.

“Kemungkinan besar, peziarah dari semua bagian masyarakat, khususnya anggota aristokrasi dan bahkan raja-raja, menyepi ke pertapa guna mencari pengetahuan dan kekuatan spiritual,” tulis Lydia.


Keterpencilan gunung menarik peziarah yang mencari kesunyian untuk inspirasi dan memahami pengetahuan religius. Misalnya, di Gunung Penanggungan, selain bertapa setelah mundur dari keduniawian, para rsi juga menerima peziarah yang mencari wejangan religius.


Sementara dari lingkungan peziarah, banyak di antaranya merupakan anggota keluarga kerajaan atau keluarga kaya yang mungkin juga pendonor tempat suci. “Pertapaan menjadi pusat untuk menyepi dari dunia dan pusat pengajaran agama,” tegasnya.


Makna kata Hin-Du


仚道 / 仙道 HIN DOU / HIN DU, Gunung PEI NANG GUNG AN (PENANGGUNGAN) sebagai tempat praktek menjalankan XIAN DAO (HSIEN TAO / SIEN TO / SIN TO) sebagai gunung tempat pertapaan di candi KAN DAO LI SO DO (KENDALI SODO) di JAWA.


仚道 XIAN DAO (HSIEN TAO), SIEN TO, SIN TO, SEN TO atau HIN DOU / HIN DU

仚 XIAN (baca HSIEN) artinya ORANG YANG BERADA DI GUNUNG, ORANG YANG TINGGAL DI GUNUNG, ORANG YANG DAPAT TERBANG

Dialek lain :

Kanton : HIN

Karakter 仚 atau 屳, XIAN (HSIEN) ini merupakan varian lain atau Phonotik-semantik atau bunyi (diucapkan) dan makna (arti) yang sama dengan karakter 仙 XIAN (HSIEN)

仚 atau 屳, -> karakter

人 = 亻, REN artinya ORANG, dan karakter 山 , SHAN artinya GUNUNG... 仙 XIAN (HSIEN) maknaya ORANG YANG PERGI KE GUNUNG UNTUK MENCARI KEABADIAN ATAU KESEMPURNAAN.

仙 XIAN (HSIEN) artinya ORANG YANG PERGI KE GUNUNG UNTUK MENCARI KEABADIAN ATAU KESEMPURNAAN, KEABADIAN, DEWA/DEWI, PERI, MAHLUK ABADI / SURGAWI, ORANG YANG LUAR BIASA, ORANG BIJAK, ORANG PERTAPA DI GUNUNG, ORANG YANG TERCERAHKAN, ORANG YANG MENDAPATKAN AWET MUDA, UNTUK MENDAPATKAN KEABADIAN DAN AWET MUDA

Dialek lain :

Kanton : SIN, SEN

Hakka : SIEN

Min Bei/Pei (Jian'Ou) : SING

Min Dong (Fu Zhou) : SIENG

Min Nan (Hokkien) : SIAN, SIEN, SEN, SIN

Teochew : SIENG, SIANG

Wu (Shanghai) : SI, SIE

Jepang : SEN, SIN

Vietnam : TIEN

道 DAO (TAO) artinya AJARAN TAO, JALAN ALAMI, JALAN NATURAL, CARA, METODE, PRINSIP, DOKTRIN, AJARAN

Dialek lain :

Kanton : DOU, TOU

Hakka : THO

Min Bei/Pei (Jian'Ou) : TAU/DAU

Min Dong (Fu Zhou) : DO/TO

Min Nan (Hokkien) : TO

Teochew : DAO/TAO

Wu (Shanghai) : DAU, DU

Jepang : DO/TO

Vietnam : DAO



Oleh. Kang Janhanonone & Koh Tzu


Referensi: 

https://historia.id/kuno/articles/tempat-menyepi-dan-belajar-agama-P14Gg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber

Prasasti Kudadu Gunung Butak

Prasasti Kudadu ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Prasasti Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan dengan 11 September 1294 M, dengan menggunakan aksara Kawi Majapahit. Prasasti ini dipahatkan pada lempeng tembaga (tamra praśasti) yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardha Anantawikramottunggadewa. Prasasti Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti (Gunung) Butak – sesuai dengan lokasi ditemukan prasasti – menyebutkan tentang pemberian anugerah raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan Desa Kudadu sebagai sīma untuk dinikmati oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Para pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah demikian karena telah berjasa kepada raja sebelum dinobatkan menjadi raja dan masih bernama Narārya Saṃgrāmawijaya. Pada waktu itu, Sa

Prasasti Pedang Goujian (Raja Yue/Yi)

Pedang Goujian (simplified Chinese: 越王勾践剑; traditional Chinese: 越王勾踐劍) adalah artefak manuskrip arkeologis dari periode Musim Semi dan Musim Gugur (771-403 SM) yang ditemukan pada tahun 1965 di Hubei, Cina. Dibuat dari perunggu, terkenal karena ketajaman dan ketahanannya terhadap noda yang jarang terlihat pada artefak yang sudah sangat tua. Artefak manuskrip bersejarah Tiongkok kuno ini saat ini dimiliki dan disimpan oleh Museum Provinsi Hubei. Pada tahun 1965, ketika penelitian arkeologi dilakukan di sepanjang saluran air utama kedua Waduk Sungai Zhang di Jingzhou, Hubei, serangkaian makam kuno ditemukan di Kabupaten Jiangling. Penggalian dimulai pada pertengahan Oktober 1965, berakhir pada Januari 1966, akhirnya mengungkapkan lebih dari lima puluh makam kuno Negara Chu. Lebih dari 2.000 artefak ditemukan di situs tersebut, termasuk pedang perunggu berhias prasasti, yang ditemukan di dalam peti mati bersama dengan kerangka manusia. Peti mati itu ditemukan pada bulan Desember 1965, d