Langsung ke konten utama

Sriwijaya di Mata Biksu Pengembara dari China

Catatan tertua tentang Sriwijaya dibuat oleh I-Tsing (Yi Jing, I Ching). Ia seorang biksu yang mengembara dari Cina ke India untuk mempelajari agama Buddha. I-Tsing menumpang kapal dagang pada jalur perdagangan laut pada abad ketujuh. Ia dua kali singgah di Sriwijaya yang disebutnya dengan nama Shih-li-fo-shih (kerajaannya) dan Fo-shih (kotanya).

Dalam perjalanan ke India, I-Tsing singgah di Sriwijaya selama enam bulan, antara tahun 671-672. Sepulangnya dari India, ia menetap di Sriwijaya selama bertahun-tahun: pada 685-689 kemudian dilanjutkan pada 689-695. Selama di Sriwijaya, I-Tsing menyalin naskah-naskah agama Buddha yang diperolehnya di India sembari membuat catatan perjalanannya sendiri.

(Baca: Seratus Tahun Lalu, "Sriwijaya" Dikira Nama Raja)

Pada tahun 689 ia sempat pulang ke Kanton walaupun tidak sengaja. Alkisah, ia naik ke kapal dengan maksud menitipkan surat ke Cina agar dikirimi kue-kue, kertas, dan tinta untuk melanjutkan penerjemahan. Namun, saat itu datanglah angin yang bagus untuk berlayar. I-Tsing terbawa pulang.

“Layar-layar dikembangkan setinggi-tingginya. Dengan cara itulah aku terbawa walaupun tidak berniat pulang). Bahkan kalaupun aku meminta kapal berhenti, tak akan dikabulkan,” tulis I-Tsing dalam catatannya.

Pada tahun yang sama ia kembali lagi ke Sriwijaya dan melanjutkan pekerjaannya. Kemudian pada 692, ia mengirimkan ke Cina naskah-naskah salinan dan catatan perjalanannya. I-Tsing kembali ke Cina pada 695 dan disambut oleh ratu Cina. Ratu yang dimaksud mungkin Ratu Wu (690-705) yang sempat memproklamasikan diri sebagai Dinasti Zhou di sela-sela kekuasaan Dinasti Tang.
Arca Buddha setinggi 2,77 meter yang ditemukan di Bukit Siguntang dan kini diletakkan di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Arca bertarikh abad keenam ini mungkin dilihat I-Tsing dalam persinggahannya di Sriwijaya pada abad ketujuh (Reynold Sumayku/NGI).

Salah satu bundel catatan perjalanan I-Tsing diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh J. Takakusu pada 1896. Berikut beberapa catatan I-Tsing tentang Sriwijaya:

1. Kota Fo-shih terletak di Sungai Fo-shih. Itu adalah pelabuhan utama dalam perdagangan dengan China. Pelayaran reguler antara Fo-shih dan Kwang-tung (Kanton, Guangzhou) dilakukan oleh sebuah kapal dagang Persia.

2. Jarak dari Kanton ke Fo-shih sekitar 20 hari pelayaran jika angin baik, atau kadang-kadang sebulan.

3. Raja Shih-li-fo-shih memiliki kapal-kapal, mungkin untuk berdagang, dan berlayar antara India dan Fo-shih.

4. Raja Shih-li-fo-shih juga merupakan penguasa negeri-negeri sekitar. Ia penganut agama Buddha.

5. Ibu kota (Fo-shih) adalah pusat pembelajaran agama Buddha di antara pulau-pulau di Laut Selatan. Di sana terdapat lebih dari seribu biksu.

6. Emas tampaknya berlimpah-limpah. Orang-orang biasanya mempersembahkan bunga lotus terbuat dari emas kepada (arca) Buddha. Mereka menggunakan buli-buli terbuat dari emas. Mereka memiliki arca-arca emas.

7. Orang-orangnya menggunakan kan-man (jubah atau kain panjang).

8. Produk negeri ini adalah pinang, pala, cengkih, dan kapur barus.

9. Di negeri Shih-li-fo-shih, pada pertengahan bulan kedelapan, jika orang berdiri di siang hari, tiada bayangan yang tampak. Matahari lewat persis di atas kepala dua kali dalam setahun.

Ikuti kisah tentang Kejayaan Sriwijaya, serta analisis para ahli dan pengamat mengenai ”Bayangan di Tengah Hari dalam Catatan I-Tsing” dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2013.

referensi sumber: https://nationalgeographic.grid.id/read/13285067/sriwijaya-di-mata-biksu-pengembara-dari-cina?page=all

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber

Prasasti Kudadu Gunung Butak

Prasasti Kudadu ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Prasasti Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan dengan 11 September 1294 M, dengan menggunakan aksara Kawi Majapahit. Prasasti ini dipahatkan pada lempeng tembaga (tamra praśasti) yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardha Anantawikramottunggadewa. Prasasti Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti (Gunung) Butak – sesuai dengan lokasi ditemukan prasasti – menyebutkan tentang pemberian anugerah raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan Desa Kudadu sebagai sīma untuk dinikmati oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Para pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah demikian karena telah berjasa kepada raja sebelum dinobatkan menjadi raja dan masih bernama Narārya Saṃgrāmawijaya. Pada waktu itu, Sa

Prasasti Pedang Goujian (Raja Yue/Yi)

Pedang Goujian (simplified Chinese: 越王勾践剑; traditional Chinese: 越王勾踐劍) adalah artefak manuskrip arkeologis dari periode Musim Semi dan Musim Gugur (771-403 SM) yang ditemukan pada tahun 1965 di Hubei, Cina. Dibuat dari perunggu, terkenal karena ketajaman dan ketahanannya terhadap noda yang jarang terlihat pada artefak yang sudah sangat tua. Artefak manuskrip bersejarah Tiongkok kuno ini saat ini dimiliki dan disimpan oleh Museum Provinsi Hubei. Pada tahun 1965, ketika penelitian arkeologi dilakukan di sepanjang saluran air utama kedua Waduk Sungai Zhang di Jingzhou, Hubei, serangkaian makam kuno ditemukan di Kabupaten Jiangling. Penggalian dimulai pada pertengahan Oktober 1965, berakhir pada Januari 1966, akhirnya mengungkapkan lebih dari lima puluh makam kuno Negara Chu. Lebih dari 2.000 artefak ditemukan di situs tersebut, termasuk pedang perunggu berhias prasasti, yang ditemukan di dalam peti mati bersama dengan kerangka manusia. Peti mati itu ditemukan pada bulan Desember 1965, d