Langsung ke konten utama

Gelar Penguasa PAN-JI Dalam sebuah Kajian Kritis


Dalam banyak catatan manuskrip kuno banyak menyebutkan Gelar Pan-Ji yang disematkan pada seorang penguasa atau pada seorang pejabat penting khususnya di kerajaan-kerajaan kuno di jawa, tetapi banyak yang tidak mengetahui asal-usul gelar tersebut termasuk oleh sebagain besar para ahli/sejarahwan di Indonesia, ditambah lagi minimnya literatur tentang istilah/gelar "Pan-Ji" tersebut dalam pendidikan sejarah di Indonesia.
Banyak sejarahwan memberikan pendapat dalam beberapa forum diskusi sejarah mengenai gelar Panji tersebut, tetapi hal tersebut hanya sebatas asumsi saja, dan gelar tersebut masih menjadi awan gelap dalam pengetahuan kesejarahan khususnya di Indonesia.
Dalam beberapa prasasti, gelar "Panji" tertulis dalam aksara Kawi seperti Prasasti Banjaran 975 Saka (1053 Masehi), Prasasti Hantang 1057 Saka (1135 Masehi) dan lain-lain, selain itu Kitab Pararaton juga mencatat keturunan Ken Angrok(Arok) yang menggunakan nama panji antara lain Panji Anengah (nama lain Anusapati), Panji Saprang, dan Panji Tohjaya.

- Panji Dalam Cerita di Jawa
Istilah “Panji” yang digunakan sebagai tokoh utama dalam cerita Panji sudah dikenal sejak periode Kediri.  Istilah tersebut merupakan nama gelar atau jabatan yang masih berhubungan dengan lingkungan istana yang mengacu kepada tokoh ksatria laki-laki yaitu seorang raja, putra, mahkota, pejabat tinggi kerajaan, kepala daerah, dan pemimpin pasukan.  Istilah “panji” atau ‘apanji” atau “mapanji” ini terus digunakan secara umum hingga masa Singhasari dan Majapahit.

-Panji Dalam Catatan Prasasti
Prasasti Banjaran 975 Saka (1053 Masehi) dari periode awal Kediri merupakan prasasti tertua yang menggunakan istilah “panji”.  Prasasti yang masih in situ (di tempat asalnya) ini menyebutkan nama rajanya, yaitu Sri Mapanji Alanjung Ahyes.
Begitu juga dengan Prasasti Hantang 1057 Saka (1135 Masehi) merupakan prasasti dari masa Kadiri yang juga menggunakan istilah “panji”.  Prasasti yang disimpan di Museum Nasional ini menyebutkan nama raja Sri Maharaja Apanji Jayabhaya.  Para pejabat kerajaannya menggunakan gelar panji seperti Mapanji Kabandha, Mapanji Mandaha, dan Mapanji Daguna.

-Hubungan gelar Pan-ji(Fan-Zhi), Fan-Zhen dan Jiedushi
Gelar "Pan-Ji" merupakan penulisan dalam aksara kawi dari aksara tiongkok "Fan-Zhi" yang merupakan kependekan dari "Fan Zhen Jiao Zhi", Fan Zhen merupakan gelar komando wilayah Di atas Jie Du Shi, dimana Fan Zhen artinya WILAYAH GARNISUN atau WILAYAH PENYANGGA.
Sedangkan Kata MA = WU 武 artinya Panglima Militer, Jadi makna MA-PAN-JI artinya Panglima Militer yang membawahi Wilayah2 kota garnisun atau Komando wilayah Pertahanan.

Jiedushi (節度使,节度使) adalah gubernur militer tradisional di Tiongkok selama masa dinasti Tang serta masa Lima dinasti dan Sepuluh Periode Kerajaan. Istilah ini juga dapat diterjemahkan sebagai "komisioner militer", "legate", dan "pemimpin regional". Jiedushi memiliki kekusaan eksternal yang kuat, termasuk hak untuk menyusun tentaranya sendiri, menarik pajak dan mengusulkan serta mengangkat pejabat.

Jedushi yang cukup kuat biasanya akan menjadi fanzhen yang mengatur ("de facto warlords") dan menyurutkan kekuasaan pemerintah pusat. Sebagai contoh An Lushan yang membawahi jiedushi dari tiga wilayah mampu melakuakan pemberontakan yang menyurutkan zaman keemasan dinasti Tang. Setelah pemberontakan ditaklukan dengan susah payah barulah jiedushi menarik kekuasaanya dan bergabung dengan dinasti Tang.
Pada akhir masa dinasti Tang Fanzhen merupakan Komando wilayah pertahanan

Referensi:
-https://id.wikipedia.org/wiki/Jiedushi
-Catatan Diskusi Kang Janonone di 覓 探以 MI TAN-I 道佑 TA(TAO)-YU 周華 JA-WA (ZHOU-HWA) 周遺 JA-WI (ZHOU-WI)
- http://www.chinaknowledge.de/History/Terms/jiedushi.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber

Prasasti Kudadu Gunung Butak

Prasasti Kudadu ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Prasasti Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan dengan 11 September 1294 M, dengan menggunakan aksara Kawi Majapahit. Prasasti ini dipahatkan pada lempeng tembaga (tamra praśasti) yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardha Anantawikramottunggadewa. Prasasti Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti (Gunung) Butak – sesuai dengan lokasi ditemukan prasasti – menyebutkan tentang pemberian anugerah raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan Desa Kudadu sebagai sīma untuk dinikmati oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Para pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah demikian karena telah berjasa kepada raja sebelum dinobatkan menjadi raja dan masih bernama Narārya Saṃgrāmawijaya. Pada waktu itu, Sa

Prasasti Pedang Goujian (Raja Yue/Yi)

Pedang Goujian (simplified Chinese: 越王勾践剑; traditional Chinese: 越王勾踐劍) adalah artefak manuskrip arkeologis dari periode Musim Semi dan Musim Gugur (771-403 SM) yang ditemukan pada tahun 1965 di Hubei, Cina. Dibuat dari perunggu, terkenal karena ketajaman dan ketahanannya terhadap noda yang jarang terlihat pada artefak yang sudah sangat tua. Artefak manuskrip bersejarah Tiongkok kuno ini saat ini dimiliki dan disimpan oleh Museum Provinsi Hubei. Pada tahun 1965, ketika penelitian arkeologi dilakukan di sepanjang saluran air utama kedua Waduk Sungai Zhang di Jingzhou, Hubei, serangkaian makam kuno ditemukan di Kabupaten Jiangling. Penggalian dimulai pada pertengahan Oktober 1965, berakhir pada Januari 1966, akhirnya mengungkapkan lebih dari lima puluh makam kuno Negara Chu. Lebih dari 2.000 artefak ditemukan di situs tersebut, termasuk pedang perunggu berhias prasasti, yang ditemukan di dalam peti mati bersama dengan kerangka manusia. Peti mati itu ditemukan pada bulan Desember 1965, d