Langsung ke konten utama

Bentuk Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Catatan I-Tsing


Catatan I-Tsing memberikan petunjuk soal bentuk Kerajaan Sriwijaya. Sejalan dengan pernyataan dalam prasasti Siriwijaya.

Keberadaan prasasti-prasasti mandala yang melingkari kadatuan Sriwijaya membuktikan datu di pusat Sriwijaya mampu memperluas otoritasnya ke wilayah luar. Apa yang dibuktikan dalam prasasti itu ternyata sejalan dengan catatan biksu I-Tsing selama berada di Sriwijaya.

Setelah berlayar selama 20 hari dari Guangzhou, I-Tsing tiba di Sriwijaya (Foshi) pada 651 M. Dia belajar di Sriwijaya selama enam bulan. Raja membantunya untuk sampai ke Melayu dan tinggal di sana selama dua bulan. Dari sana dia ke Kedah kemudian sampai India pada 673 M. Baru pada 675, dia memulai pengajarannya di Nalanda selama sepuluh tahun.

I-Tsing kembali berlayar ke Kedah dan tiba di Melayu untuk kedua kalinya. “Melayu kini telah menjadi bagian dari Shili Foshi dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya,” catat I-Tsing.

Di Shili Foshi, I-Tsing tinggal selama empat tahun (685-689 M). Dia sempat terbawa pulang kapal ke Tiongkok. Namun dia kembali dan tinggal lagi di Sriwijaya selama lima tahun (689-695 M).

Selama tinggal beberapa tahun di Sriwijaya itu, I-Tsing memberikan banyak petunjuk mengenai bentuk politik Sriwijaya. Berdasarkan kajian sejarawan Inggris, Oliver William Wolters, tulisan-tulisan I-Tsing memuat dua istilah kunci yang relevan mengenai politik Sriwijaya.

Ada istilah zhou dan guo. Wolters mengartikan zhou sebagai kata Tionghoa yang dipakai sebagai terjemahan istilah Sanskerta dvipa atau tanah berbatas laut. “Yijing (I-Tsing, red.) menggunakan pulau sebagai padanan zhou,” tulis Wolters dalam “Restudying some Chinese Writings on Srivijaya”.

Sementara guo bisa diartikan sebagai kerajaan atau negara atau negeri. Guo juga berarti tempat tertentu berbentuk ibu kota.

Kata guo digunakan I-Tsing ketika menulis “negeri Melayu kini adalah negeri Srivijaya”. Dia menulisnya dengan guo Sriwijaya.

I-Tsing kembali mengulang pernyataan dalam catatannya yang lain. Di sana tertulis “guo Melayu kini telah menjadi Sriwijaya”.

Lalu dalam catatan ketiga, Mulasarvastivada-ekasata-karman, I-Tsing menyatakan: “Zhou Melayu kini telah menjadi salah satu dari banyak guo Sriwijaya.”.

Berdasarkan tiga kutipan catatan I-Tsing itu, jelas kalau Melayu telah menjadi salah satu dari banyak guo Sriwijaya. “Sebuah fakta yang sepenuhnya diperkuat oleh Prasasti Karang Brahi yang sezaman di hulu sungai dari Melayu atau Jambi,” tulis Hermann Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya.

Karenanya tafsiran Wolters terhadap catatan I-Tsing mengatakan kalau istilah guo juga bisa merujuk pada politik yang tidak perlu sepenuhnya independen, baik sebagai negeri maupun kota. Guo juga mengacu pada suatu bagian dari politik yang lebih besar yang terdiri dari banyak guo lainnya. Wolters kemudian memadankan istilah guo dengan istilah mandala dalam prasasti-prasasti Sriwijaya awal yang sezaman.

Menurut Wolters kata-kata yang hampir identik tentang ‘banyak guo Srivijaya’ dan ‘semua mandala kadatuan-ku (Sriwijaya) dalam Prasasti Sabokingking (Telaga Batu), jelas sudah mengacu pada situasi sosial politik yang sama. “Kita dapat menduga bahwa penguasa Sriwijaya memiliki mandala sendiri (yang dianggap oleh I-Tsing sebagai guo) dan juga sebagai maharaja mandala lain di kadatuan-nya,” jelasnya.

Pada akhirnya, Wolters menyimpulkan berdasarkan catatan I-Tsing, Sriwijaya semata-mata hanyalah salah satu dari sejumlah guo di Sumatra. Pendapat ini sedikit berbeda dengan pendapat sejarawan Jerman, Hermann Kulke di Kadatuan Sriwijaya.

Menurut Kulke, memang Sriwijaya pada awalnya juga sebuah mandala. Kawasan intinya yang berada di bawah seorang datu mungkin tetap menjadi guo atau mandala di sepanjang sejarahnya.

Namun, jelas ada yang membedakan Sriwijaya pada akhir abad ke-7 M dari mandala-mandala Sumatra lainnya. Datu di pusat Sriwijaya ini mampu memperluas wilayah otoritasnya. Buktinya adalah prasasti-prasasti yang tersebar di radius ratusan kilometer darinya.

Kulke menyarankan untuk menyamakan istilah zhou yang dipakai I-Tsing dengan istilah bhumi seperti yang sering disebut dalam prasasti-prasasti Sriwijaya awal.

“Jika penyamaan fungsional dapat diterima, definisi sezaman I-Tsing tentang politi Sriwijaya memang menjadi sangat dekat dengan defisini politi berdasarkan prasasti-prasastinya,” catat Kulke.

Sebelumnya, berdasarkan kajian epigrafi, Kulke membuktikan Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan yang membawahi kerajaan-kerajaan lain yang mengakui kedaulatannya.

Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, pun sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu, yaitu puri, istana, atau keraton. Arkeolog dan sejarawan Prancis, Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti tempat tinggal atau keratonnya.

Kadatuan Sriwijaya yang diyakininya berpusat di Sumatra Selatan, diakui kedaulatannya oleh Kedah, Ligor, Semenanjung Malayu, Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Batu Raja. “Batu Raja adalah prasasti terakhir yang ditemukan tahun lalu di Ogan Kemering Ulu,” jelas Ninie.

Ninie pun menjelaskan bagaimana peran Sriwijaya dalam pembentukan pemerintahan maritim. Sebagaimana yang diungkapkan Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya, bahwa terdapat masyarakat yang berdiam di tiap mandala. “Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” jelas Ninie.

referensi:
Risa Herdahita Putri,10 April 2019, https://historia.id/kuno/articles/bentuk-kerajaan-sriwijaya-berdasarkan-catatan-i-tsing-DWe0R?fbclid=IwAR0ApAaUexJmgBDsPxFqtM2TP5kexTEpjoavyBrzpmO6z1pD6AKHz_jR80c



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prasasti Canggal / Gunung wukir Desa Kadiluwih Magelang

Prasasti canggal atau dikenal juga dengan nama Prasasti Gunung Wukir merupakan salah satu dari sekian banyak bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram. Peninggalan kerajaan Mataram Kuno tersebut ditemukan di wilayah Magelang tepatnya berada di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam Magelang. Sebagaimana peninggalan sejarah pada masanya prasasti ini juga dibuat dengan sebuah batu bertuliskan aksara pallawa serta memuat simbol dalam menunjukkan waktu pembuatannya. Simbol yang terdapat dalam menggambarkan angka tahun berbunyi Sruti-Indriy- Rasa yang kemudian diterjemahkan oleh para peneliti dengan angkat tahun 654 saka atau enem-limo-papat (dalam bahasa jawa) yang berarti bertepatan dengan tahun masehi ke- 732. Prasasti canggal memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti sanjaya sebagai penguasa di wilayah jawa sebagai pengganti raja Sanna yang telah tiada. Selain hal tersebut prasasti peninggalan kerajaan mataram kuno ini juga ber

Prasasti Kudadu Gunung Butak

Prasasti Kudadu ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Prasasti Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan dengan 11 September 1294 M, dengan menggunakan aksara Kawi Majapahit. Prasasti ini dipahatkan pada lempeng tembaga (tamra praśasti) yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardha Anantawikramottunggadewa. Prasasti Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti (Gunung) Butak – sesuai dengan lokasi ditemukan prasasti – menyebutkan tentang pemberian anugerah raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan Desa Kudadu sebagai sīma untuk dinikmati oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Para pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah demikian karena telah berjasa kepada raja sebelum dinobatkan menjadi raja dan masih bernama Narārya Saṃgrāmawijaya. Pada waktu itu, Sa

Prasasti Pedang Goujian (Raja Yue/Yi)

Pedang Goujian (simplified Chinese: 越王勾践剑; traditional Chinese: 越王勾踐劍) adalah artefak manuskrip arkeologis dari periode Musim Semi dan Musim Gugur (771-403 SM) yang ditemukan pada tahun 1965 di Hubei, Cina. Dibuat dari perunggu, terkenal karena ketajaman dan ketahanannya terhadap noda yang jarang terlihat pada artefak yang sudah sangat tua. Artefak manuskrip bersejarah Tiongkok kuno ini saat ini dimiliki dan disimpan oleh Museum Provinsi Hubei. Pada tahun 1965, ketika penelitian arkeologi dilakukan di sepanjang saluran air utama kedua Waduk Sungai Zhang di Jingzhou, Hubei, serangkaian makam kuno ditemukan di Kabupaten Jiangling. Penggalian dimulai pada pertengahan Oktober 1965, berakhir pada Januari 1966, akhirnya mengungkapkan lebih dari lima puluh makam kuno Negara Chu. Lebih dari 2.000 artefak ditemukan di situs tersebut, termasuk pedang perunggu berhias prasasti, yang ditemukan di dalam peti mati bersama dengan kerangka manusia. Peti mati itu ditemukan pada bulan Desember 1965, d